JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu faktor yang memperlambat penyelesaian uji materi undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi (MK) juga harus menangani sengketa pilkada.
Meskipun Pasal 157 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menegaskan bahwa perselisihan hasil pilkada sedianya diadili oleh lembaga peradilan khusus, namun lembaga peradilan khusus itu belum ada.
Dengan demikian, untuk sementara waktu sengketa pilkada ditangani oleh MK.
"Selama belum dibentuk badan peradilan khusus, atau masa transisi, (sengketa pilkada) masih ditangani MK," ujar Ketua MK Arief Hidayat Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2017).
Arief mengatakan, jumlah perkara yang masuk ke MK cenderung meningkat setiap tahun. Pada 2013 saja MK menangani 109 perkara. Kemudian pada 2014 dan 2015 meningkat menjadi 140 perkara.
Pada 2016, MK menangani 111 perkara ditambah limpahan dari tahun sebelumnya sebanyak 63 perkara. Sementara untuk 2017, hingga saat ini MK sudah terima 52 permohonan perkara.
Untuk tiga bulan ke depan, MK akan fokus menangani sengketa pilkada. Arif mengungkapkan, andai saat ini boleh memilih untuk tidak menangani sengketa pilkada, maka MK tidak akan mengambil alih peran lembaga khusus itu.
Namun pada faktanya, hingga saat ini belum ada lembaga peradilan lain yang bisa dilimpahkan untuk memproses perselisihan hasil pilkada.
"MK kenapa mau? karena (hakim konstitusi) itu negarawan. Kalau enggak mau ya sudah enggak mau kami, karena itu nyusahin kok," kata dia.
Sependapat dengan Arief, Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyampaikan bahwa lembaga peradilan khusus itu sedianya segera terbentuk jika menghambat MK dalam menyelesaikan tugasnya menguji undang-undang.
"Itu mungkin lebih baik," kata Hatta.
Ia juga mengatakan bahwa tidak mungkin jika sengketa perselisihan pilkada ditangani MA. Sebab, MA bukanlah lembaga peradilan khusus.
"Di kita (Indonesia) peradilan khusus itu (putusannya) bersifat final dan binding (mengikat). Kalau di MA, berarti kan masih ada proses kasasi, maka lebih bagus peradilan khusus," kata Hatta.