JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) telah digelar, Kamis (9/3/2017) siang.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan, dirinya sempat ditanya oleh Presiden Joko Widodo jelang persidangan dimulai perihal implikasi kasus korupsi e-KTP terhadap proyek e-KTP.
"Tadi pagi jam 09.00 melaporkan masalah e-KTP kepada Pak Presiden, beliau nanya ada enggak implikasi daripada proses hukum ini dengan Kementerian (Dalam Negeri)," ujar Tjahjo dalam sambungan telepon pada acara diskusi ruang tengah di Kantor Tempo, Jakarta Barat, Kamis (9/3/2017).
Menjawab pertanyaan Presiden, Tjahjo mengatakan bahwa kasus korupsi e-KTP dan proyeknya merupakan hal terpisah. Ia berharap tak ada implikasi yang terlalu menghambat.
(Baca: Uang Proyek e-KTP Disebut Akan Mengalir ke Sejumlah Partai)
Politisi PDI Perjuangan itu mengakui memang kasus tersebut sedikit menghambat proyeknya. Namun, Kemendagri tetap fokus pada penyelesaian proses perekaman yang belum selesai 100 persen.
Sehingga, permasalahan e-KTP dapat dituntaskan jelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 mendatang.
"Sedang diselesaikan secara hukum. Tapi kami sudah laporkan ke Presiden mengenai pelayanan, kami akan terus. Meski ada sedikit hambatan," ucap Tjahjo.
(Baca: Ini Daftar Mereka yang Disebut Terima Uang Proyek E-KTP)
Dalam dakwaan kasus dugaan korupsi e-KTP, puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 disebut menerima fee dari uang yang dianggarkan dalam proyek e-KTP.
Dalam kasus ini, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, duduk di kursi terdakwa.
Dakwaan dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Sekitar bulan Juli hingga Agustus 2010, DPR RI mulai melakukan pembahasan RAPBN TA 2011. Salah satunya soal anggaran proyek e-KTP. Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku pelaksana proyek beberapa kali melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR RI.
(Baca: Wiranto: Selain Kasus E-KTP, Ada Hambalang dan Century yang Jadi "Bom")
Kemudian disetujui anggaran senilai Rp 5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberi fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Akhirnya disepakati 51 persen dari anggaran digunakan untuk proyek ,sementara 49 persen untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR RI, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Dalam kasus ini, Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, 877.700 dollar AS, dan 6.000 dollar Singapura. Sementara itu, Sugiharto mendapatkan uang sejumlah 3.473.830 dollar AS.