Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPD Dinilai seperti "Pesakitan"

Kompas.com - 08/03/2017, 09:10 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai, berbagai persoalan internal yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini karena ada pihak yang ingin mendelegitimasi lembaga tersebut. 

Menurut dia, dengan keterbatasan wewenang untuk menjalankan fungsi perwakilan, ditambah dengan dominasi partai politik, membuat DPD menjadi seperti pesakitan.

Ia menyoroti banyaknya anggota DPD yang bergabung menjadi kader partai politik.

Padahal, dalam sistem perwakilan bikameral, DPD seharusnya tidak untuk wakil dari partai, tetapi wakil dari wilayah.

"Perwakilan wilayah, daerah, atau ruang seperti yang dijalankan DPD, diberlakukan sama perwakilannya seperti DPR yang mewakili partai. Kepentingannya DPD agar tidak perwakilan tidak bias Jakarta dan Jawa," kata Titi, saat dihubungi, Selasa (7/3/2017) malam.

Dengan masuknya anggota DPD ke partai politik, maka perwakilan DPD yang seharusnya berbasis daerah, menjadi tersekat dengan kepentingan politik tertentu.

(Baca: "DPD Memprihatinkan, Kewenangan Terbatas tetapi Cakar-cakaran")

Hal itu membuat DPD tak berbeda dengan DPR.

"Oke tak masalah mereka punya latar belakang partai tapi pengabdian di partai berakhir saat dia masuk DPD," ujar Titi.

"Di RUU (Rancangan Undang-undang) Pemilu harus ada aturan bahwa mereka enggak jabat pengurus partai ketika terpilih sebagai anggota DPD. Mandat eksklusif untuk wakili daerah harus dijaga," lanjut Titi.

Hal senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.

Ia mengatakan, sistem perwakilan dua kamar ini harus dibedakan secara tegas.

Jika tak ada perbedaan, maka tak ada gunanya lagi penerapan sistem bikameral.

"Kita secara sadar memilih parpol untuk DPR dan tidak boleh calon independen kok untuk DPR. Kemudian DPD sebagai calon perseroangan dan tidak dari parpol," kata Refly.

(Baca: Refly Harun: Harus Ada Penegasan soal Posisi DPD)

Ke depannya, Refly mengusulkan kewenangan DPD perlu diperkuat sehingga punya peran dalam menjalankan fungsi perwakilan politik.

"Ke depan, proses rekrutmen ini kalau enggak diimbangi penguatan kewenangan akan percuma. Sehingga teori representasinya tidak tercapai. Sesungguhnya tujuan pembentukan DPD tak akan tercapai kecuali tiap periode hanya menghadirkan orang baru saja," kata Refly.

"Pilihannya 3, jalan di tempat, ubah, atau bubarkan. Negara sebesar Indonesia tak bisa hanya one chamber, minimal two chambers. Negara besar kebanyakan two chambers, second chamber itu cara untuk atasi ketimpangan Jawa dengan luar Jawa," lanjut dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi, menyarankan kewenangan DPD diperluas, terkait persetujuan rancangan undang-undang menjadi undang-undang.

Selain itu, peningkatan kewenangan dalam fungsi pengawasan sehingga bisa memberi persetujuan atas hasil pengawasan DPR terhadap eksekutif.

"Di mana-mana posisi DPD atau upper house lebih tinggi karena dia representasikan simbol identitas negara. Sehingga yang bekerja secara aktif menyusun undang-undang dan mengawasi eksekutif itu tugas DPR, sementara porsi DPD di tahap akhir yakni persetujuan," kata Hanafi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Waspadai Dampak Perang Israel-Iran, Said Minta Pemerintah Lakukan 5 Langkah Strategis Ini

Waspadai Dampak Perang Israel-Iran, Said Minta Pemerintah Lakukan 5 Langkah Strategis Ini

Nasional
Mahasiswa Hukum Empat Kampus Serahkan 'Amici Curiae', Minta MK Batalkan Hasil Pemilu

Mahasiswa Hukum Empat Kampus Serahkan "Amici Curiae", Minta MK Batalkan Hasil Pemilu

Nasional
MA Tolak Kasasi Bambang Kayun

MA Tolak Kasasi Bambang Kayun

Nasional
Polri: Puncak Arus Balik Sudah Terlewati, 30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta

Polri: Puncak Arus Balik Sudah Terlewati, 30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, Bawaslu Jawab Dalil soal Pendaftaran Gibran dan Politisasi Bansos

Serahkan Kesimpulan ke MK, Bawaslu Jawab Dalil soal Pendaftaran Gibran dan Politisasi Bansos

Nasional
Jadi Tersangka KPK, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 M

Jadi Tersangka KPK, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 M

Nasional
KPK Cegah Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor ke Luar Negeri

KPK Cegah Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor ke Luar Negeri

Nasional
KPK Perpanjang Masa Penahanan Dua Eks Anak Buah Gus Muhdlor

KPK Perpanjang Masa Penahanan Dua Eks Anak Buah Gus Muhdlor

Nasional
Gelar Peninjauan di Pelabuhan Panjang dan Bakauheni, Jasa Raharja Pastikan Kelancaran Arus Balik di Wilayah Lampung

Gelar Peninjauan di Pelabuhan Panjang dan Bakauheni, Jasa Raharja Pastikan Kelancaran Arus Balik di Wilayah Lampung

Nasional
Urgensi Politik Gagasan pada Pilkada 2024

Urgensi Politik Gagasan pada Pilkada 2024

Nasional
Bersama Menko PMK dan Menhub, Dirut Jasa Raharja Lepas Arus Balik “One Way” Tol Kalikangkung

Bersama Menko PMK dan Menhub, Dirut Jasa Raharja Lepas Arus Balik “One Way” Tol Kalikangkung

Nasional
Semua Korban Kecelakaan di Km 58 Tol Japek Teridentifikasi, Jasa Raharja  Serahkan Santunan kepada Ahli Waris

Semua Korban Kecelakaan di Km 58 Tol Japek Teridentifikasi, Jasa Raharja Serahkan Santunan kepada Ahli Waris

Nasional
Jadi Tersangka, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Diduga Dapat Jatah Potongan Insentif ASN

Jadi Tersangka, Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Diduga Dapat Jatah Potongan Insentif ASN

Nasional
Bawaslu Buka Kans Evaluasi Panwas yang Tak Becus Jelang Pilkada

Bawaslu Buka Kans Evaluasi Panwas yang Tak Becus Jelang Pilkada

Nasional
Rahmat Bagja Sebut Bawaslu Kemungkinan Pindah Terakhir ke IKN

Rahmat Bagja Sebut Bawaslu Kemungkinan Pindah Terakhir ke IKN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com