Ia menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikan. Politik (seharusnya) menggunakan hati nurani dan hati nurani demi keadilan dan kesejahteraan banyak orang.
Dari fiksi hingga aksi
Mangunwijaya dikenal serbabisa. Sebagai novelis, dalam semua novelnya, Mangunwijaya kental keberpihakannya kepada mereka yang tengah menziarahi kehidupan mencapai jati diri yang bermartabat dan berharkat.
Dengan novel, Romo Mangun merasa bisa memasuki relung hati dunia tanpa batas dan sekat pendidikan, umur, latar belakang, dan lebih bebas diterima siapa saja.
Novel-novelnya merupakan refleksi dan pelengkap perjuangan tidak kenal lelah. Kumparan dari menyapa, menyelami, musyawarah, melibati, hingga menggerakkan.
Selain lewat karya fiksi, lewat artikel sebagai buah pemikiran reflektifnya, karya-karya arsitektur, buku-buku reflektif teologisnya sebagai rohaniwan, Romo Mangun menempatkan diri tidak hanya sebagai pemikir di belakang meja, tetapi juga bergerak di lapangan.
Selain rajin berbicara lewat mimbar publik sebagai selebritas intelektual, ia sendiri memberi contoh, melakukan dan menggerakkan. Sosok man of thought sekaligus man of action.
Kekagumannya kepada tokoh Sjahrir, perjuangannya memasuki wilayah-wilayah "perang", seperti hidup bersama masyarakat pinggir Kali Code, Kedung Ombo, Kampung Grigak (Wonosari), tetap dalam konteks menggerakkan manusia menemukan jati diri dan harkatnya.
Dia menaruh hidupnya penuh risiko, sampai dicap "komunis"-julukan yang di masa itu artinya "masuk kotak".
Dia memimpin unjuk rasa dengan bercaping memperjuangkan kepentingan petani di halaman Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gerakan sosial tidak hanya lewat penyadaran bersama (konsientisasi) ala Paulo Freire dalam berbagai bentuk karya publik, tetapi juga bergaul dan bersurat-menyurat dengan para pejabat pengambil keputusan.
Surat-menyurat dipakainya ketika mendampingi masyarakat Code, masyarakat Kedung Ombo, begitu juga dengan rekan dekatnya semasa studi di Jerman, BJ Habibie sebagai Presiden RI, dalam kasus Timor Timur, juga kedekatan hubungan dengan sejumlah tokoh lintas agama, di antaranya KH Abdurrahman Wahid.
Keberpihakannya kepada masyarakat miskin dan pencarian jati diri dia lakukan dalam semua rancang bangunan yang selalu menimba kekayaan bahan dan budaya lokal dan melawan yang serba-impor dan terlihat megah.
Lembaga pendidikan sebagai pelengkap keberpihakannya lantas diwujudkan dalam DED, di samping laboratorium, juga sekolah dasar di Desa Mangunan, Kalasan, yang terus berkembang sampai sekarang.
Tanggal 10 Februari 1999, ketika meninggal dalam acara bedah buku di Jakarta, kegiatan yang menyatu dengan segala perhatian, komitmen, dan aktivitasnya lebih dari 20 tahun-dihitung sejak tahun 1973 sepulang dari studi di Jerman sampai meninggalnya-bermakna simbolis.