JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional HAM Nur Kholis menilai selama dua bulan perdebatan antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia (PT FI) tak menyentuh nasib masyarakat adat.
Padahal di kawasan pertambangan di Timika ada masyarakat adat yang harus diajak berunding.
"Kami tidak berpretensi mau pergi atau diganti perusahaan nasional. Oke saja. Tapi masalah yang selama ini harus ada skenario penyelesaian. Dan atas dasar refleksi itu kalau mau mengembangkan tambang ke depan berdasarkan refleksi itu," kata Komisioner Komnas HAM Nur Kholis di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (3/2/2017).
(Baca: Kemelut Freeport, Masyarakat Adat Timika Minta Dilibatkan dalam Perundingan)
Menurut Nur Kholis, dalam kisruh antara pemerintah dan PT FI, terdapat potensi pelanggaran hak asasi manusia. Unsur HAM itu meliputi dampak lingkungan, masyarakat adat dan karyawan PTFI.
Untuk itu, Nur Kholis menyatakan Komnas HAM siap menjadi mediator antara pemerintah, PTFI, dan masyarakat adat.
Pemerintah dan PTFI, kata dia, dapat mengirimkan perwakilan dengan Komnas HAM sebagai mediator.
Nur Kholis menilai jika sengketa dibawa ke persidangan arbitrase, akan menghabiskan waktu.
Sementara, banyak karyawan PT FI terancam dirumahkan akibat pabrik tidak beroperasi selama sengketa.
"Jadi menurut saya ada baiknya itu diselesaikan di Indonesia yang jangka waktunya cepat," ujar Nur Kholis.
Kisruh antara pemerintah dan PFI terjadi karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Kemudian, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 tahun 2017 pasal 17 yang menyebutkan pemegang KK dapat menjual pengolahan tambang ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun.
(Baca: Tak Hanya soal Bisnis Tambang, Freeport Dinilai Punya Segudang "Dosa")
Dengan ketentuan perubahan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan membayar bea keluar.
Dalam status sebagai KK, kewajiban pajak yang dibayarkan PFI berjumlah tetap tiap tahun.
Sedangkan dalam IUPK, dengan menggunakan sistem pajak prevailing, tarif pajak dapat berubah-ubah.
Kemudian, dalam PP 1/2017, PFI diwajibkan melakukan divestasi saham sampai dengan 51 persen secara bertahap.