Salah satu agenda dalam kunjungan kerja itu ada mendalami penerapan e-voting. Hal ini dinilai janggal karena sejak 2009 Mahkamah Konstitusi Federal negara itu memutuskan e-voting tidak konstitusional dan tidak digunakan lagi pada pemilu berikutnya.
Proses rekapitulasi terlalu panjang
Ramlan mengatakan, persoalan kepemiluan Indonesia saat ini adalah panjangnya proses rekapitulasi yang memakan waktu hingga dua minggu.
Padahal, di negara-negara lain, proses rekapitulasi tidak sampai seminggu.
Bahkan, ada pula yang selesai dalam hitungan hari.
Proses yang panjang ini dianggap berpotensi terjadinya penggelembungan dan jual beli suara yang dilakukan dengan petugas rekapitulasi.
"Makanya, yang dibutuhkan di Indonesia itu e-rekap, bukan e-voting atau e-counting. Penggunaan teknologi informasi itu penting, tapi harus disesuaikan dengan kebutuhan kita di Indonesia," kata Ramlan.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara yang berlaku saat ini telah menjadi standar internasional dalam hal transparansi.
Menurut dia, sistem yang sudah baik ini justru akan dilemahkan dengan keberadaan EVM (e-voting machine).
Selain itu, secara global, EVM mulai kehilangan kredibilitas. Hanya sedikit negara yang menggunakan EVM.
Dari sisi biaya, tidak ada penghematan, dan terbukti kurang transparan.
Ia sependapat bahwa yang dibutuhkan Indonesia hanya e-rekap daripada e-voting dan e-counting.
"Itu juga sudah sesuai dengan rekomendasi KPU (Komisi Pemilihan Umum). Indonesia saat ini membutuhkan e-rekap bukan e-voting dan e-counting," papar Titi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.