Oleh: Hikmahanto Juwana
Freeport McMoran telah memukul genderang untuk membawa pemerintah ke arbitrase. Pemerintah dituduh telah melanggar kontrak karya dengan mewajibkan Freeport untuk mengubah bentuk usaha pertambangan dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus. Menurut Freeport. ini niat sepihak pemerintah untuk mengakhiri KK.
Tuduhan Freeport bahwa pemerintah memaksa dirinya untuk mengubah bentuk usaha pertambangan KK menjadi IUPK adalah tidak benar. Pemerintah justru telah mencoba memahami kesulitan yang akan dihadapi oleh Freeport saat relaksasi yang diberikan kepada para pemegang KK berakhir pada 11 Januari 2017.
Tidak berdasar
Pangkal masalah yang memunculkan kegaduhan terletak pada Pasal 170 Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pasal 170 menentukan pemegang KK yang telah berproduksi mempunyai kewajiban untuk melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak berlakunya UU Minerba tahun 2009. Ini berarti pada tahun 2014 semua pemegang KK sudah tidak lagi diperbolehkan untuk melakukan penjualan ke luar negeri. Namun, pada 2014 ternyata banyak pemegang KK tak mampu melakukan pemurnian di dalam negeri. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaannya yang memungkinkan pemegang KK melakukan ekspor dengan membayar bea keluar, tetapi tetap berkomitmen membangun smelter dalam jangka waktu tiga tahun.
Menjelang berakhirnya tiga tahun pada akhir 2016, ternyata sejumlah pemegang KK masih belum membangun smelter. Freeport salah satunya meski telah mengalokasikan dana untuk pembangunan smelter. Freeport tak kunjung membangun smelter karena ingin mendapat kepastian perpanjangan KK yang akan berakhir 2021. Dalam perhitungan Freeport, tanpa kepastian perpanjangan pembangunan smelter tak akan ekonomis.
Menghadapi kondisi belum terbangunnya smelter sementara terhadap Pasal 170 UU Minerba tak dilakukan perubahan, pemerintah pun harus mencari jalan keluar bagi pemegang KK yang belum mampu melakukan pemurnian di dalam negeri. Di sinilah kemudian diterbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 dan sejumlah peraturan menteri (permen) ESDM. Dalam Pasal 17 Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 disebutkan, pemegang KK dapat melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun dengan ketentuan mengubah bentuk pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK dan membayar bea keluar.
Apabila mencermati ketentuan tersebut, tak ada keharusan bagi pemegang KK untuk mengubah dirinya menjadi IUPK. Freeport, misalnya, bisa saja tetap mempertahankan KK. Hanya saja sesuai Pasal 170 UU Minerba, Freeport tidak dapat lagi melakukan penjualan ke luar negeri. Namun, jika Freeport ingin tetap melakukan penjualan ke luar negeri, Freeport harus mengubah diri dari KK ke IUPK. Pilihan ini ada di tangan Freeport dan pemerintah tidak sedikitpun melakukan pemaksaan.
Oleh karena itu, tuduhan Freeport bahwa pemerintah hendak mengakhiri KK sebelum 2021 adalah tidak benar. Justru pemerintah telah memberi jalan keluar bagi pemegang KK di tengah keinginan publik agar pemerintah tegas menjalankan Pasal 170 UU Minerba. Pemerintah menuai kritik. Bahkan, Permen ESDM No 5/2017 pun dibawa ke Mahkamah Agung untuk dilakukan uji materi. Dalam konteks demikian, betapa tidak adilnya Freeport yang mengancam pemerintah ke arbitrase. Tak heran jika Menteri ESDM Ignasius Jonan menyebut Freeport rewel. Pemegang KK lain seperti Vale tetap mempertahankan KK telah menunaikan kewajibannya dengan membangun smelter. Sementara PT Amman Mineral Nusa Tenggara (dahulu dimiliki oleh Newmont) telah mengubah bentuk menjadi IUPK agar tetap dapat melakukan penjualan ke luar negeri.
Arbitrase
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.