JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) terkait grasi yang diajukan terpidana mati.
Sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 107/PUU-XIII/2015 pada Juni 2016 lalu, menganulir batas waktu pengajuan grasi selama satu tahun pasca-putusan tetap. Dengan adanya putusan MK itu, pelaksanaan eksekusi mati dianggap sulit mendapat kepastian.
Sebelum melakukan eksekusi mati, pemerintah harus memenuhi hak terpidana, salah satunya pengajuan grasi. Tanpa adanya batasan waktu pengajuan grasi, Kejaksaan Agung menilai terpidana sengaja mengulur waktu.
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, hak terpidana mati tidak boleh ditiadakan. Pengajuan grasi tetap dapat dilakukan tanpa batasan waktu.
"Tidak ada lagi tenggat waktu yang mengikat, sehingga berlaku ketentuan bahwa aturan yang paling menguntungkan terpidana mati yang digunakan sebagaimana asas dasar perundang-undangan dalam ranah pidana," kata Supriyadi melalui keterangan tertulis, Sabtu (25/2/2017).
(Baca: Soal Eksekusi Hukuman Mati, Jaksa Agung Minta Fatwa ke MA)
Supriyadi menuturkan, permintaan fatwa kepada MA oleh Kejaksaan Agung menunjukkan adanya keinginan Kejaksaan Agung untuk dapat melaksanakan hukuman mati terhadap terpidana mati yang mengajukan grasi.
Namun, lanjut dia, fatwa MA sebagai pendapat hukum tidak bersifat mengikat.
"Fatwa MA bukanlah suatu keputusan pengadilan, sebab itu kekuatan hukumnya semata-mata bersifat etik," ujar Supriyadi.
Menurut Supriyadi, hukuman mati dapat diganti dengan jenis hukuman berat lain seperti hukuman seumur hidup. Hal itu, kata dia, senada dengan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih digarap oleh DPR.
Setelah mengeksekusi empat terpidana mati pada Jumat (29/6/2017) lalu di Nusakambangan, tersisa sepuluh terpidana mati.
Sepuluh orang itu antara lain, Merri Utami (Indonesia), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria). Kemudian, Obina Nwajagu (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), Eugene Ape (Nigeria), Pujo Lestari (Indonesia), dan Agus Hadi (Indonesia).