JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono meminta agar putusan MK nomor 107/PUU-XIII/2015 tidak dijadikan alat untuk menghalangi aparat dalam upaya penegakan hukum.
Putusan MK tersebut membatalkan berlakunya Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Pasal tersebut mengatur bahwa pengajuan grasi hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
MK memutuskan bahwa permohonan grasi tidak dibatasi tenggat waktu tertentu. Artinya, grasi bisa diajukan kapanpun.
Fajar merespons persiapan Kejaksaan Agung terkait eksekusi mati jilid IV.
(Baca: Kejagung Tengah Persiapkan Eksekusi Mati Jilid IV)
Kejaksaan Agung sebelumnya mengungkapkan, salah satu kendala pihaknya melakukan eksekusi adalah terpidana mengulur-ulur waktu untuk upaya hukum.
"Jangan sampai kemudian maksud MK melindungi hak konstitusional terpidana untuk mengajukan grasi disalahgunakan atau disalahartikan menunda-nunda eksekusi," kata Fajar saat dihubungi, Jumat (24/2/2017).
Fajar mengakui, putusan MK memang tidak berlaku surut. Dan bagi mereka yang vonisnya dijatuhkan hakim sebelum adanya putusan MK, boleh mengajukan grasi.
Namun demikian, seharusnya, putusan MK tidak digunakan sebagai celah oleh para terpidana menunda-nunda eksekusi dengan mengajukan grasi.
Di sisi lain, menurut Fajar, dalam rangka penegakan hukum, eksekutor juga tidak harus terpaku pada tidak adanya batas waktu pengajuan grasi.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan