JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai menilai, konflik antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia terkait pengalihan status Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangam Khusus (IUPK) tidak berdampak besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya suku Amungme.
Ia mengatakan, sejak penandatanganan KK antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia sebagai tanda dimulainya penambangan di Timika pada 7 April 1967, masyarakat suku Amungme tidak pernah menerima ganti rugi atas pelepasan hak ulayat masyarakat.
Oleh karena itu, Pigai meminta pemerintah memerhatikan keterlibatan masyarakat suku Amungme dalam proses divestasi yang sedang berjalan dengan mengatur pembagian saham untuk masyarakat.
"Pemerintah harus bicara soal kesejahteraan masyarakat. Dalam proses divestasi harus ada ketentuan yang jelas terkait pembagian saham untuk masyarakat suku Amungme," ujar Pigai, saat memberikan keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (24/2/2017).
(Baca: Pemerintah dan Freeport Disebut Merampas Hak Tanah Adat Suku Amungme)
Ia menyebutkan, program pengembangan masyarakat yang dilakukan PT. Freeport Indonesia kepada suku Amungme tidak bisa dilihat sebagai bentuk ganti rugi atas pelepasan hak ulayat masyarakat.
Hal tersebut merupakan kewajiban setiap perusahaan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam undang-undang.
"Fasilitas kesehatan, sekolah dan sebagainya dari CSR Freeport selama ini, tak bisa dianggap sebagai kompensasi dari perampasan tanah ulayat suku Amungme," kata dia.
Terkait peningkatan kesejahteraan, kata Pigai, mekanisme pembagian saham bukan tak mungkin dilakukan.
Dalam praktiknya, pemerintah bisa menyerahkan kepemilikan saham melalui perwakilan kepala suku.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.