Jelaslah bahwa secara rasional Ahok mendapat banyak durian runtuh. Mereka yang memilih Ahok-Djarot sebagian besar karena faktor "sudah ada bukti hasil kerjanya" (42 persen) dan "berpengalaman di pemerintahan" (25 persen). Anies-Sandi terutama karena dinilai "pintar" (18 persen), "kesamaan agama" (16 persen), dan "ramah" (12 persen). Sementara Agus-Sylvi didukung terutama karena dinilai "tegas atau berwibawa" (32 persen).
Namun, titik lemah Ahok terutama pada aspek emosional. Pada survei 2-8 Februari 2017, proporsi pemilih yang mengatakan Ahok melakukan dugaan penodaan agama dalam kasus Al Maidah meningkat menjadi 57 persen dibandingkan pada Januari yang "hanya" 47 persen. Polemik dengan KH Ma'ruf Amin dalam persidangan turut meningkatkan kembali ketersinggungan pemilih Muslim.
Vonis "menodai agama" memiliki konsekuensi elektoral yang sangat negatif bagi Ahok-Djarot. Di kalangan yang menilai ucapan Ahok off-side dalam kasus Al Maidah, mayoritas memilih Anies-Sandi (51,4 persen) dan Agus-Sylvi (27,1 persen). Sebaliknya, di kelompok pemilih yang menilai ucapan Ahok tidak menodai agama, 83,2 persen solid memilih Ahok-Djarot.
Yang menarik, dalam analisis regresi logistik multinomial berdasarkan hasil survei terakhir jelang pilkada, variabel kinerja petahana tidak lagi signifikan untuk menjelaskan elektabilitas ketiga pasangan setelah dikontrol dengan variabel-variabel lain. Artinya, kepuasan atau ketidakpuasan terhadap kinerja Ahok tak lagi menjadi faktor determinan yang memengaruhi pilihan. Warga bisa saja puas terhadap kinerja Ahok, tetapi tak mau memilihnya. Yang konsisten menjadi prediktor elektabilitas calon adalah debat dan ucapan Ahok tentang Al Maidah.
Menariknya, dalam regresi logistik multinomial tersebut, variabel agama per se tidak signifikan, tetapi isu atau opini agama dalam kasus Al Maidah sangat signifikan. Adanya unsur mobilisasi Islamis yang membuat isu Al Maidah menjadi prediktor dan itu terkait lebih dari sekadar masalah agama.
Putaran kedua
Kekuatan serta kelemahan Ahok dan Anies sudah berhasil kita petakan jelang putaran kedua. Untuk meraih kemenangan, Ahok tak bisa sekadar mengandalkan rekam jejak dan bukti nyata kerjanya tanpa membenahi komunikasi dan pendekatan emosional yang menyentuh hati pemilih. Ini, misalnya, dengan tidak mengulangi blunder terkait dengan Al Maidah. Tangis haru Ahok dalam pembukaan sidang kasus dugaan penodaan agama terbukti lebih memikat hati pemilih ketimbang sikap yang dinilai tak sopan ketika KH Ma'ruf Amin menjadi saksi.
Hasil putaran pertama ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa aspek rasionalitas tak seluruhnya bisa menjelaskan perilaku pemilih. Perlu kiat-kiat khusus mendekati pemilih yang masih terluka atas pernyataan Ahok dalam kasus Al Maidah. Kiat ini terutama diarahkan kepada warga yang sudah puas terhadap kinerja Ahok, tetapi belum menerjemahkan dalam bentuk dukungan elektoral.
Sebaliknya, jika ingin menang, Anies tidak bisa hanya mengandalkan sentimen agama. Harus diingat, Anies menjadi pilihan utama kelompok anti petahana karena dia punya keunggulan komparatif dibandingkan Agus. Meski sama-sama menawarkan kenyamanan psikologis-emosional pada pemilih yang mempertimbangkan aspek primordial, Anies-Sandi dinilai lebih unggul pada aspek rasional dibandingkan Agus-Sylvi.
Inilah yang perlu dieksplorasi lebih dalam jelang putaran kedua. Terlebih lagi, pada debat-debat sebelumnya, menurut pemilih, Anies selalu tertinggal dibanding Ahok dalam hal program kerja dan penguasaan masalah yang diperdebatkan.
Tentu naif berharap putaran kedua nanti sepi dari isu-isu abad pertengahan. Namun, jangan lupa, warga Jakarta memiliki modal rasionalitas yang lebih baik ketimbang wilayah lain dilihat dari tingkat pendidikan dan pendapatan serta akses terhadap informasi. Inilah sumber rasionalitas pemilih yang seharusnya menjadi insentif bagi kedua pasangan calon yang lolos di putaran final agar mampu menawarkan program yang lebih baik serta pendekatan rasional yang lebih meyakinkan bagi pemilih.
Burhanuddin Muhtadi
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (FISIP-UIN) Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Rasionalitas Pemilih Jakarta".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.