JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku tidak bisa mengungkapkan isi dari fatwa Mahkamah Agung (MA) soal polemik status Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Permintaan fatwa ini diajukan Kementerian Dalam Negeri merespons desakan agar pemerintah memberhentikan sementara Ahok dari jabatannya karena telah menjadi terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama.
Tjahjo mengatakan, fatwa MA bersifat rahasia.
"MA memang punya tradisi hanya menjawab kepada yang meminta," kata Tjahjo, melalui pesan singkat, Senin (20/2/2017).
Surat permintaan fatwa itu disampaikan Tjahjo kepada MA pada Selasa (14/2/2017) lalu.
Menurut Tjahjo, MA belum bisa memberikan pendapat karena saat ini kasus Ahok masih berjalan.
"Prinsipnya, pendapat /penjelasan apapun dari MA, pasti Kemendagri menghormatinya. Pertimbangannya karena sedang ada proses pengadilan dan gugatan, jadi MA belum bisa memberikan pendapat. Itu saya sebagai Mendagri memahami sekali pendapat/pernyataan MA, jadi tidak perlu menjadu polemik," kata dia.
(Baca: MA Minta Kemendagri yang Jelaskan Isi Fatwa Terkait Status Ahok)
Sebelumnya, keputusan mengaktifkan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menuai protes.
Bahkan, sebagian fraksi di DPR ingin menggunakan hak angket untuk mempertanyakan keputusan Mendagri.
Menanggapi polemik itu, Kemendagri hingga saat ini belum bisa memberhentikan Ahok karena Pasal 83 UU tentang Pemda itu mengatur bahwa pemberhentian sementara dapat dilakukan jika kepala daerah tersebut dituntut hukuman pidana selama lebih dari lima tahun.
Adapun bunyi pasal tersebut, yakni, "Seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara dari jabatannya apabila didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat lima tahun penjara, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI".
(Baca: Pemuda Muhammadiyah Tunggu Realisasi Janji Jokowi soal Status Ahok)
Dakwaan Ahok terdiri dari dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.
Sementara itu, Pasal 156 a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
Oleh karena itu, Kemendagri akan terlebih dahulu menunggu tuntutan jaksa, pasal mana yang akan digunakan.