Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/02/2017, 19:19 WIB

Oleh: Adrianus Meliala

Menurut penulis, Kapolri Tito Karnavian memulai jabatannya pada saat yang salah. Mengapa? Sebab, sejak dilantik pada Agustus 2016, Polri terus- menerus disibukkan berbagai peristiwa kamtibmas yang menuntut mulai dari perhatian, tenaga, hingga dana amat besar.

Sebut saja proses penyelidikan dan penyidikan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dilanjutkan kasus makar serta kasus penodaan oleh ulama. Pengamanan dua demo besar di Jakarta tahun lalu sangat menguras tenaga anggota Polri. Hal itu berlanjut hingga demo besar yang juga terjadi tahun ini menjelang masa pemungutan suara terkait pilkada serentak di seluruh Indonesia.

Kecenderungan beberapa kalangan yang gemar mengerahkan massa juga membuat Polri hanya bersikap reaktif. Belum lagi penanganan kasus teror dan beberapa kejahatan yang menarik perhatian masyarakat (seperti kejahatan siber dan narkotika) sungguh membuat polisi sibuk.

Jika jajaran kepolisian sibuk menghadapi berbagai masalah kamtibmas, masih adakah tersisa waktu untuk mengurusi dirinya sendiri? Itulah tesis tulisan ini.

Kapolri cerdas

Saat diumumkan sebagai pengganti Badrodin Haiti, hampir tak ada pihak yang berkeberatan dengan pilihan presiden itu. Reputasi kerja menonjol, kepribadian santun, dan intelektualitas di atas rata-rata menjadikan Tito sebagai Kapolri yang hampir sempurna. Hampir semua orang, di dalam maupun di luar Polri, berharap banyak kepadanya dalam rangka membawa kepolisian menjadi semakin profesional, modern, dan terpuji. Ketiga hal ini lalu disingkat menjadi Promoter dan jadi jargon baru yang dikumandangkan di semua kantor polisi se Indonesia.

Setelah setengah tahun menjabat, anggapan positif tentang Tito tidak berubah. Langkah-langkahnya mengendalikan tuntutan massa dalam kasus Ahok ataupun saat merekayasa aliran massa yang bak air bah saat demo "411" dan "212" dilakukan dengan dingin sekaligus tegas.

Tidak hanya jago di lapangan, Tito juga rajin melobi berbagai pihak yang punya pengaruh dalam menciptakan rangka situasi kamtibmas yang kondusif. Alhasil, penulis menduga, Tito akan atau bahkan sudah kelelahan dan kehabisan waktu untuk studi terkait organisasi Polri dan untuk mengutak-atik kemungkinan solusi strategis.

Permasalahannya, jika kecerdasan sang Kapolri hanya dihabiskan untuk menangani hal-hal pragmatis, "kasusal", dan menyangkut level teknis saja, maka kapasitas Tito tak akan optimal. Dia berpotensi menjadi tak ubahnya sekadar Kapolri yang mengejar prestasi dari kasus ke kasus, yang melakukan perubahan seadanya dan yang memilih menjaga keseimbangan daripada melakukan terobosan.

Sebagai mantan komisioner di Komisi Kepolisian Nasional, telah lama penulis melihat bahwa permasalahan Polri berada di manajemen sumber daya manusia. Manajemen yang ada sekarang kelihatan tidak kuat mendukung permasalahan di seputar 400.00 anggota Polri. Mengapa demikian? Utamanya karena tidak didukung oleh basis data yang kuat guna menopang pola penempatan, penugasan, pendidikan, serta pengakhiran tugas dari masing-masing personel.

Akibatnya, walau mungkin persentasenya cenderung mengecil, masih terdapat celah untuk diskresi guna mengesampingkan ketentuan yang ada. Demikian pula celah untuk manajemen jendela (bergantung siapa yang diingat pimpinan).

Tersirat bahwa masalah SDM Polri menyangkut basis data yang kuat itu terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Secara umum, peran teknologi informasi di Polri masih amat terbatas. Walau Polri memiliki Divisi Teknologi Informasi, tetapi tidak ada aplikasi teknologi informasi yang dapat dibanggakan dan atau berlaku di seluruh Polri. Banyak aplikasi yang hanya berlaku di tingkat polda, misalnya, atau khusus di satuan kerja tertentu. Agak susah membayangkan organisasi sebesar Polri, dengan uraian tugas beragam, bisa bekerja optimal tanpa dukungan teknologi informasi memadai.

Jika mau meneropong permasalahan secara lebih jauh, dengan mudah kita melihat pula permasalahan di reserse. Proses kerja dari satuan yang merupakan andalan Polri ini hampir semua dikerjakan secara manual, minim dukungan teknologi informasi. Upaya menjadikan penyidik sebagai profesi yang tidak bisa dimasuki sembarang orang, antara lain melalui penerbitan sertifikasi, hingga kini tak jadi-jadi. Manajemen penyidikan juga dipenuhi praktik penundaan berlarut sehingga tak jelas batas waktu penyelesaian suatu kasus.

Jika ditanya mengapa demikian, penyidik umumnya mengeluh anggaran yang terbatas. Ini ada benarnya. Walaupun jika mau melihat ke belakang, anggaran penyidikan yang sekarang dimiliki Polri sebetulnya sudah merupakan karunia luar biasa.

Polri belum bisa keluar dari jebakan belanja gaji bagi anggotanya yang terus membengkak (kini 70-an persen) dan menekan komponen belanja modal dan belanja barang. Ada kemungkinan, jika Polri tak melakukan moratorium penerimaan anggota, maka anggaran Polri yang diterima dari negara akan habis untuk gaji saja. Artinya, tidak ada lagi uang untuk operasi dan pembangunan kantor baru, misalnya.

Ada permasalahan lain? Masih banyak. Namun, itu dia, kesibukan Polri mengatasi kasus demi kasus yang bersifat pragmatis dan segera bisa membuat Polri kehabisan waktu guna berpikir masalah strategis tentang dirinya dan fungsinya di masyarakat.

Pusat pemikiran

Tentu Tito tidak bisa memilih kapan dirinya menjabat. Jika sekarang Polri dikepung permasalahan kemasyarakatan, itulah realitas yang harus dihadapi. Bagaimana mencari solusinya?

Implisit di balik kekuatan sang Kapolri, kemungkinan itu pula yang jadi kelemahannya: penggerak bagi perubahan organisasi melulu diletakkan di bahu Tito sendiri. Sementara perwira-perwira tinggi lain bersembunyi. Ada yang karena tidak memiliki pemikiran yang bernas, ada pula yang karena jerih apabila diadu dengan pemikiran sang Kapolri.

Membiarkan Kapolri menjadi pemikir strategik utama dan satu-satunya tentu berbahaya. Selain bahaya one man show, juga ada bahaya mental fatigue bila orang harus menanggung beban berat sendirian.

Di pihak lain, Polri harus terus mendorong pusat-pusat pemikiran di kepolisian ataupun perwira yang bertendensi pemikir untuk terus melahirkan ide-ide terobosan yang pada gilirannya diakomodasi oleh pimpinan puncak Polri. Kegiatan berpikir ini umumnya jauh dari kesibukan operasional yang tinggi.

Hal itu bukannya tidak ada. Meski demikian, ide atau pemikiran yang dilahirkan itu masih kental dengan pemikiran khas komunitas Polri: "bagaimana agar Polri tambah kuat, tambah besar sehingga perlu ditambah anggaran, kewenangan, dan sebagainya". Jika tipikal pemikiran seperti itu yang selalu muncul, alih-alih mendukung kerja pimpinan puncak Polri, malah akan tambah membebani Polri.

Sejauh ini pusat-pusat pemikiran Polri masih dipersepsi sebagai tempat buangan. Kalaupun tidak lagi, maka lembaga seperti Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, misalnya, tidaklah dianggap bergengsi dalam pembentukan kebijakan. Padahal, jika semua satuan kerja Polri sibuk ngurusi masalah operasional, maka Polri akan kehabisan kemampuan melihat dan berbuat yang visioner.

Adrianus Meliala
Komisioner Ombudsman RI
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Polri yang Sibuk".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Kubu Prabowo Sebut 'Amicus Curiae' Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Kubu Prabowo Sebut "Amicus Curiae" Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Nasional
BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com