JAKARTA, KOMPAS.com - Usulan hak angket status Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang aktif kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta akan dibawa ke rapat paripurna DPR.
Hal itu diputuskan dalam rapat pimpinan DPR, Selasa (14/2/2017).
"Sesuai mekanisme yang berlaku, surat tersebut masuk di pimpinan. Surat tersebut akan dibacakan dalam rapat paripurna terdekat. Usulan untuk penggunaan hak angket," ujar Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa sore.
Adapun paripurna terdekat, kata Fadli, diperkirakan digelar mendekati akhir masa sidang, yaitu 23 atau 24 Februari.
(Baca: Fadli Zon Tegaskan Hak Angket soal Ahok Tak untuk Makzulkan Presiden)
Sebelum rapat paripurna digelar, DPR akan terlebih dahulu menggelar rapat badan musyawarah bersama pimpinan-pimpinan fraksi.
Saat usulan hak angket tersebut diberikan kepada pimpinan DPR, Senin (13/2/2017) kemarin, jumlah anggota yang membubuhkan tanda tangan sebanyak 90 orang.
"Sampai sore kemarin tambah tiga orang. Tapi itu surat pengusul, bukan petisi. Jadi saya kira surat itu harus berhenti. Kalau nambah, ya tambahan saja. Sudah lebih dari cukup," kata Politisi Partai Gerindra itu.
Adapun hak angket adalah hak yang dimiliki anggota dewan untuk melakukan penyelidikan atas sebuah isu. Hak ini diusulkan oleh paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
Hak angket juga harus disetujui lebih dari 50 plus satu anggota DPR di rapat paripurna.
Berdasarkan Pasal 200 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3), hak angket disampaikan pengusul kepada pimpinan DPR untuk dibawa ke Badan Musyawarah lalu ke rapat paripurna.
(Baca: Status Ahok Munculkan Dinamika Hak Angket di DPR...)
Kemudian dalam Pasal 201, dijelaskan bahwa jika usulan hak angket tersebut diterima, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR.
Jika usulan hak angket ditolak, maka usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Empat fraksi resmi mengusulkan hak angket terkait status Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang aktif kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta, yaitu Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
(Baca: Ahok Kembali Jabat Gubernur DKI, 4 Fraksi DPR Setuju Hak Angket)
Pengangkatan Ahok dinilai cacat yuridis karena bertentangan dengan Pasal 83 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
Ayat (1), "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia"
Ayat (2), "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan"
Ayat (3), "Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota"
Sementara itu, Ahok didakwa Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun. Dua pasal itu adalah dakwaan alternatif.