Saya bukan politikus. Sayangnya, saya juga tidak menemukan kosakata polikucing, apalagi polianjing. Tapi, memang seperti itulah kini kondisi perpolitikan mutakhir. Serba-lebay dan semakin sesuka hati menamai kawan dan lawan.
Masyarakat menjadi semakin tersekat-sekat. Tidak lagi hanya berdasarkan kesenjangan sosial ekonomi, tapi juga perselisihan pilihan politik.
Si kaya memanfaatkan si miskin, pun sebaliknya: si miskin tak mau kalah; menerima pemberian si kaya namun tak mengambil janji-janji manisnya. Ikut berjoget di bawah panggung kampanye, tapi soal contreng-mencontreng tetap tak mau sekenanya mengikuti nyanyian para jurkam.
Saya menyebutnya si kaya karena politikus memang kaya dengan bualan. Dan saya menyebut si miskin sebagai antonim karena memang miskin khayal.
Bagaimana si miskin bisa berkhayal jika terus-menerus dikebiri setelah si kaya keluar sebagai juara? Oya, sesebutan si kaya itu pun saya dasarkan pada praduga betapa politik kekuasaan itu bertaburan uang.
Tak ada yang benar-benar bersih meski berikrar akan bersih-bersih jika terpilih. Politik hari ini belum akan berpihak kepada rakyat. Mengambil uang rakyat, ya. Memberi rakyat uang, tidak.
Tapi, untungnya, itu semua hanya terjadi di tulisan saya ini ketika saya berusaha mendefinisikan diri saya sendiri. Siapakah saya sesungguhnya? Politikus? Bukan. Si kaya? Emm, bukan juga. Si miskin? Bukan pula, ternyata.
Saya baru belajar memahami apakah benar bahwa tidak berpolitik adalah berpolitik itu sendiri. Adakah pilihan antara bagi orang seperti saya yang tidak kaya tidak miskin pula ini? Untung tak ada kolom pilihan politik di kartu penduduk saya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.