Fenomena penolakan camat beragama minoritas di Yogyakarta dan pembubaran kegiatan ibadah di Bandung merupakan tanda bahwa regulatory pluralism mendesak untuk dikelola dengan lebih baik. Para ahli tata kelola regulasi telah memberikan beberapa resep untuk mengelola fenomena regulatory pluralism.
Neil Gunningham et al (1998) mengusulkan teori smart regulation yang lahir sebagai respons ketidakpatuhan dalam konteks regulasi lingkungan. Gagasan teori ini dapat diaplikasikan pada konteks yang lebih luas. Teori ini meyakini, kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap regulasi merupakan hasil dinamika interaksi antara negara, sasaran regulasi (regulatory target), dan pihak ketiga dalam sistem tata kelola regulasi.
Misalnya, apabila negara ingin mengatur sekolah dan sivitas akademikanya, proses penyusunan dan penegakan regulasi tidak hanya melibatkan negara dan sekolah, tetapi juga pihak ketiga, seperti lembaga masyarakat, tokoh pendidikan, dan masyarakat sipil. Pihak ketiga tak hanya terlibat menyusun konsep dan desain regulasi, tetapi juga menyepakati peran dalam penegakan regulasi. Kesepakatan tripartit inilah argumen utama smart regulation.
Menurut teori smart regulation, ada lima prinsip utama dalam pengelolaan regulasi di era regulatory pluralism. Pertama, regulasi harus mencerminkan pengakuan kepentingan antarpihak atau win-win solution. Prinsip ini sangat sejalan dengan ajaran demokrasi. Dalam prinsip ini, kepentingan minoritas wajib dipertimbangkan dalam proses penyusunan dan penegakan regulasi.
Kedua, negara memfasilitasi pemberdayaan non-state actors untuk lebih memahami mekanisme dan prosedur regulasi; mulai dari penyusunan, implementasi, hingga penegakannya. Kesetaraan pemahaman ini penting untuk menghindari kesalahpahaman terkait simplifikasi prosedur regulasi. Misal, keputusan negara mendefinisikan tindakan patuh atau tidak patuh terhadap regulasi membutuhkan alat bukti dan proses yang legitimite, misalnya peradilan terbuka.
Ketiga, proses penegakan regulasi harus melibatkan masyarakat sipil. Negara memfasilitasi keterlibatan perwakilan masyarakat sipil dalam proses penilaian tindakan untuk dikategorikan sebagai kepatuhan atau ketidakpatuhan. Transparansi dan akuntabilitas negara (khususnya aparatur penegak hukum) tidak cukup untuk membangun keputusan yang legitimate. Regulatory pluralism membutuhkan partisipasi untuk melengkapi penegakan regulasi.
Keempat, sistem penegakan regulasi dilakukan bertingkat, misalnya persuasi, surat peringatan, hukuman publik (publikasi), kriminalisasi, hingga pencabutan izin untuk organisasi berbadan hukum. Negara dan masyarakat sipil bersepakat menentukan peran masing-masing dalam penegakan regulasi.
Kelima, tujuan bernegara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar menjadi arah pengelolaan partisipasi multiaktor dalam pengelolaan regulasi dengan "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai tujuannya.
Smart regulation telah menawarkan kerangka kerja pengelolaan fenomena regulatory pluralism yang sejalan dengan prinsip demokrasi. Meski demikian, menjalankan prinsip smart regulation tidak mudah, diperlukan kapasitas negara yang responsif dan punya legitimasi.
Di mata negara, kelompok mayoritas dan minoritas memiliki hak yang sama untuk menyatakan pendapat. Legitimasi menyangkut proses pengelolaan regulasi yang melibatkan berbagai aktor secara transparan dan akuntabel.
Bahruddin
Pengajar Jurusan PSDK Universitas Gadjah Mada;
Kandidat Doktor Universitas Melbourne, Australia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Merawat "Bhinneka Tunggal Ika".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.