PERNYATAAN Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah berkenaan dengan penyebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran sebagai “babu” berbuntut panjang.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Buruh Migran terdiri dari Migrant Care, Indonesia Corruption Watch (ICW), Institut KAPAL Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan beberapa LSM lainnya melaporkan ke Mahkamah Dewan Kehormatan (DK) DPR RI (Kompas, 27 Januari 2017).
Ketika, polemik ini mencuat, justru kita dikejutkan peristiwa kematian demi kematian para pekerja migran akibat insiden kapal karam. Terakhir terjadi di perairan Tanjung Rhu, Mersing, Johor Bahru, Malaysia dan korban tewas dilaporkan mencapai 24 orang.
Tentunya, peristiwa ini menjadi potret betapa profesi sebagai pekerja migran sangat berisiko karena penuh dengan pertaruhan nyawa. Kondisi seperti ini harusnya kita hormati keberadaan mereka.
Bagi pemerintah, sebenarnya perjuangan para pekerja migran ini mampu mengembangkan perekonomian nasional, angkatan kerja dapat terserap, dan terjadi pemerataan pembangunan.
Potret pekerja migaran
Saat ini setidaknya ada 6,5 juta pekerja migran dari Indonesia tengah berjuang di berbagai negara penempatan. Mereka rela meninggalkan Tanah Air untuk mengadu nasib demi kelangsungan hidup pribadi dan keluarganya.
Cerita mengenai berbagai derita dan kegagalan yang dialami pekerja migran tidak mengendurkan angkatan kerja baru untuk memilih profesi ini.
Di balik berbagai cerita tentang keberhasilan menjadi pekerja migran dan transfer uang atau remitannce yang cukup besar sejumlah Rp 95 triliun (rilis BNP2TKI dari Januari - Oktober 2016), sebetulnya terdapat fenomena gunung es yang menyingkap berbagai potret ekspolitasi terhadap mereka.
Sekurang-kurangnya terdapat 4 (empat) titik persoalan yang dihadapi mereka.
Pertama, fase pra penempatan. Persoalan ini paling umum yang muncul terkait tindakan percaloan/sponsor. Untuk mendapatkan calon pekerja migran, mereka memberikan imbalan kepada keluarga calon pekerja migran.
Jika persyaratan adminsitratif tidak memenuhi, biasanya dimanipulasi dalam dokumen administrasi.
Kedua, fase penempatan di negara lain. Pekerja migran kerap menderita secara fisik dan psikis, bahkan terjadi kekerasan seksual, serta kehilangan kontak dengan keluarga.
Selain itu, faktor perbedaan kebudayaan, serta diskriminasi pekerja migran berdokumen atau tidak berdokumen sering terjadi.
Dampak yang paling ekstrem adalah kasus pekerja migran berhadap dengan hukum yang ancaman vonisnya hukuman mati. Kondisi ini tercermin dari data Kemenlu khususnya di Malaysia (156) dan Arab Saudi.