Pada akhir pekan lalu, Dewan Pers merilis 74 media massa --cetak, elektronik dan daring-- baik skala nasional maupun lokal yang lolos verifikasi.
Media cetak/daring terverifikasi akan mendapatkan logo, yang mana di dalamnya ada QR (Quick Response) code, yang bila dicek menggunakan ponsel cerdas akan tersambung database Dewan Pers yang berisi info valid perusahaan bersangkutan.
Sedangkan untuk media televisi dan radio akan dipasang bumper in dan bumper out yang mengapit program berita yang ditayangkan.
Makna lain yang penting dari logo ini adalah Dewan Pers bisa memberikan bantuan hukum jika perusahan yang bersangkutan mendapatkan masalah atas pemberitaan. Tidak akan masuk ranah pidana karena dianggap produk jurnalistik murni.
Pemberian logo sendiri dilakukan saat pencanangan Ratifikasi Piagam Palembang Tahun 2010 oleh perusahaan-perusahaan Pers pada Hari Pers Nasional (HPN) di Ambon, 9 Februari 2017, yang sekaligus menjadi kick off verifikasi.
Muncul kemudian banyak pertanyaan dominan dari publik: Apa yang tak tersertifikasi, otomatis masuk daftar media hoax? Mengapa hanya daftar itu saja, padahal media profesional lebih dari itu? Lalu, apa yang harus dihadapi dan hikmah bijaksana dari ini semua?
Pertama, daftar 74 media tersebut adalah hasil dari penandatanganan dari 13 CEO pemilik dari 74 perusahaan pers saat HPN di Palembang. Dengan demikian, ini merujuk ke belakang, bukan hasil dari proses apalagi daftar verifikasi ke depan.
Selepas ratifikasi, sepengetahuan penulis, sangat banyak manajemen media massa yang sudah dan sedang berusaha memenuhi persyaratan verifikasi dewan yang dibentuk sebagai amanat dari pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Pers No 40/1999 tentang pengaturan dan peningkatan profesionalisme perusahaan pers.
Akan tetapi, sekali lagi karena merujuk HPN 2010 saja, maka banyak media massa yang kita kenal profesional dan punya jejak rekam baik, menjadi tidak masuk daftar ini.
Sangat banyak manajemen media yang sudah berusaha memenuhi syarat verifikasi tersebut sepanjang 2011-2016, namun tidak muncul dalam daftar tadi. Sebab, sekali lagi, patokan Dewan Pers merujuk dulu pada HPN 2010.
Pun demikian, seperti ditegaskan Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Nezar Patria, Minggu (5/2/2017), tak serta merta yang tak terverifikasi adalah bukan media profesional.
Bahkan, 74 perusahaan pers yang telah terverifikasi tidak menandakan bahwa hanya perusahaan inilah yang mendapatkan keabsahan dari Dewan Pers karena HPN 2017 di Ambon justru menjadi titik awal gong verifikasi.
Kemudian yang tidak terverifikasi, sekali lagi, maka perusahaan pers ini belum tentu memberitakan hal yang salah apalagi hoax. Jadi, info viral bahwa narasumber berhak menolak media yang tidak tersertifikasi adalah informasi tidak akurat --terlebih sangat banyak media profesional yang tak ikut menandatangani HPN 2010.
Menurut Nezar, media massa yang ada di Indonesia sangat banyak, baik yang berpusat di Jakarta maupun yang ada di masing-masing daerah, jumlahnya bisa ratusan. Namun, jumlah ini diprediksi belum mencakup semua media massa yang ada sekarang, karena masih banyak media-media yang belum mendaftarkan diri ke Dewan Pers.
Kesimpulannya, semua pihak harus faham bahwa media tersertifikasi hanya merujuk HPN 2010 (dengan kick off resmi verifikasi per HPN 2017 pada 9 Februari nanti), sehingga banyak media profesional masuk daftar meski dalam proses, sehingga tidak bisa serta merta tak mau menerima permintaan wawancara media-media tersebut.