Kedua, verifikasi adalah hal berbeda dengan trauma insan pers dari Orde Baru: Bredel. Sekalipun bredel adalah hal konstitusional sebagaimana tertera pasal 1 ayat 9 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, namun ini sudah dipastikan dari awal oleh Dewan Pers tidak akan pernah dilakukan.
Tidak ada satupun kata menyangkut ini dalam Ratifikasi Piagam Palembang Tahun 2010, bahwa media massa yang sudah terverifikasi dan melakukan pelanggaran, terutama mengkritisi pemerintah, maka akan serta merta dilarang siaran/terbit.
Ratifikasi Palembang 2010 hanya berisikan empat peraturan Dewan Pers yang disepakati bersama yakni standar perusahaan pers, kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan. Inilah syarat-syarat verifikasi Dewan Pers.
Karena itu, mengaitkan verifikasi dengan pembredelan seperti era Orde Baru selain tidak akurat, juga menjadi paranoia yang lebay.
Apakah mungkin dalam era serba terbuka saat ini, dalam era demokrasi yang sangat menjunjung kemerdekaan pers, akan dilakukan pembredelan pada media profesional yang melanggar? Di mana peran sidang mediasi dan aduan?
Dalam hemat penulis, Dewan Pers justru akan paling pertama lantang menentang ini jika verifikasi menjadi alat pemerintah seperti SIUPP di zaman Departemen Penerangan dulu. Para pemilik media besar pun tak mungkin mau ikut verifikasi jika memang arahnya ke sana.
Ratifikasi, sekaligus syarat verifikasi, hanyalah fokus: KEJ/Kode Etik Jurnalistik, apakah kode etik dijalankan atau tidak; SPS/Standar Perusahaan Pers, apakah berbadan hukum dan beri kesejahteraan ke wartawan; SPW (Standar Perlindungan Wartawan), apa ada perlindungan hukum ke wartawan; dan SKW (Standar Kompetensi Wartawan), apa kualitas dan profesional wartawan ditegakkan.
Untuk itulah, kiranya tak perlu bingung apalagi resah menghadapi verifikasi yang sementara ini baru dilakukan 74 media --dan akan lebih banyak setelah HPN 2017 dilakukan.
Tak perlu pula menyikapi berlebihan, semisal menolak media profesional yang belum tersertifikasi karena seluruhnya sedang berproses.
Sebagai catatan, data 2010 saja, media pers profesional di Indonesia ditenggarai berjumlah 1.100 surat kabar, 300 televisi, dan 1.170 stasiun radio. Sementara data tahun 2016, media daring versi Menkominfo, berjumlah di atas 40.000.
Ini akan lain cerita jika yang dihadapi adalah media abal-abal dan wartawan bodrex, yang jauh dari empat standar yang dipatok dari syarat verifikasi di atas. Menghadapi para pencari pragmatisme mengatasnamakan pers tersebut, maka hadapi dengan perlakuan bukan ke elemen pers profesional.
Pada akhirnya, alih-alih resah dan gundah, mari dukung bersama verifikasi ini. Sebab media massa masih menjadi rujukan utama masyarakat Indonesia dalam mencari informasi.
Harian Kompas edisi 6 Februari 2017 mencatat, 84% responden menjadikan media massa profesional sebagai rujukan mencari informasi dan hanya 15% yang merujuk media sosial. Jadi, mari perkuat pers Indonesia melalui verifikasi Dewan Pers yang akurat, cepat, dan transparan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.