JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri AKBP Brotoseno didakwa menerima Rp 1,9 miliar rupiah terkait kasus korupsi yang ditanganinya.
Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2017), ia menerima hadiah atau janji agar menunda pemeriksaan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, dalam kasus dugaan korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat.
Kejadian bermula saat adanya surat panggilan terhadap Dahlan sebagai saksi pada Agustus 2016.
Saat itu, Direktur Utama PT Jawa Pos National Network Suhendro Boroma menerima informasi dari pihak keluarga Dahlan soal adanya panggilan tersebut.
Suhendro kemudian menemui Harris Arthur Hedar, advokat Jawa Pos Group untuk mengurus penundaan panggilan terhadap Dahlan.
(Baca: Brotoseno Didakwa Terima Suap Rp 1,9 Miliar Terkait Penanganan Kasus Korupsi)
Selain itu, Suhendro juga meminta agar ada surat keterangan dari polisi bahwa Dahlan tidak bersalah, jika memang tidak terlibat dalam kasus itu.
Harris kemudian menemui Lexi Mailowa Budiman yang merupakan karyawan maskapai penerbangan Lion Air sekaligus pemilik kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.
Menurut Suhendro, Lexi punya banyak kenalan di Bareskrim Polri yang bisa menghubungkan dengan penyidik kasus cetak sawah.
Lexi kemudian mencari tahu siapa penyidik kasus tersebut dan menanyakan biaya-biaya penanganan perkara. '
Kemudian, Lexi bertemu dengan Dedy Setiawan Yunus, penyidik di Dittipidum Bareskrim Polri.
Melalui Dedy, Lexi diperkenalkan dengan Brotoseno.
Harris kemudian meminta Suhendro mempersiapkan biaya operasional sebesar Rp 6 miliar hingga Rp 7 miliar dan disanggupi.
Ia mengupayakan dana dari PT Kaltim Elektrik Power, yang sebagian sahamnya dimiliki Dahlan.
Setelah menerima transfer sebesar Rp 3 miliar dari Harris, Lexi kembali menemui Dedy dan Brotoseno.
Brotoseno pun menjelaskan penanganan kasus tersebut, termasuk soal pemanggilan Dahlan.
Padahal, selaku penyidik, semestinya Brotoseno memegang rahasia penyidikan.
Brotoseno kemudian menyampaikan kepada Lexi bahwa dirinya membutuhkan biaya milyaran rupiah untuk berobat orangtuanya yang sakit ginjal.
Permintaan Brotoseno itu dipenuhi Lexi.
Sekitar tanggal 18-21 Oktober 2016, bertempat di pavilliun RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Brotoseno menerima Rp 1 miliar dari Lexi yang diberikan melalui Dedy.
Brotoseno menyerahkan Rp 100 juta kepada Dedy sebagai komisi.
Kemudian, pada 21 Oktober 2016, penyidik kembali melayangkan panggilan kedua terhadap Dahlan dengan nomor surat panggilan S.PGL/1715/X/2016 untuk diperiksa sebagai saksi pada 26 Oktober 2016.
Namun, sebelumnya Brotoseno meminta agar pihak Dahlan menyurati Bareskrim untuk menunda pemeriksaan.
Saat itu, pihak Dahlan beralasan ada pemeriksaan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan minta penundaan pemeriksaan untuk tanggal 3 November 2016.
Pada 31 Oktober 2016, Brotoseno bersama Dedy menemui Lexi dan menyarankan agar pemeriksaan bisa dilakukan di Jawa Timur.
Meski sudah ada pemberian uang, ternyata masih ada panggilan penyidik terhadap Dahlan.
Lexi kemudian menambah pemberian uang kepada Brotoseno sebesar Rp 900 juta.
Dedy kembali mendapat bagian Rp 50 juta dari Brotoseno yang diambil dari uang tersebut.
Pemberian itu dilakukan pada 3 November 2016 di parkiran Pasar Festival, Jakarta Selatan.
Kemudian, pada pertengahan November 2016, Brotoseno ditangkap dalam operasi tangkap tangan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Dedy, Harris, dan Lexi juga ikut dibawa tim saber pungli di tempat terpisah.
Sebelum akhirnya dilimpahkan ke Bareskrim Polri, mereka berempat diperiksa oleh tim pengamanan internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Dari tangan Brotoseno, polisi menyita Rp1.748.800.000 yang merupakan sisa dari total uang yang diberikan.
Sementara itu, dari Dedy, polisi menyita Rp 150 juta. Sedangkan dari tangan Lexi, disita uang sebesar Rp 1,1 miliar yang merupakan sisa uang yang ditransfer Harris.
Atas perbuatannya, Brotoseno dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.