JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi III DPR Benny Kabur Harman menilai pengusutan dugaan kasus korupsi yang menyeret nama Sylviana Murni oleh polisi, sudah tepat.
Hal itu merupakan imbas dari pencabutan Peraturan Kapolri (Perkap) yang mengatur penundaan proses kasus yang menyeret calon kepala daerah peserta pilkada.
Perkap tersebut diterbitkan di era Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti.
"Pada masa Pak Tito (Karnavian) ini kasusnya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) waktu itu kan ada. Mungkin ya sudah untuk pemerataan keadilan semua kasus dibuka. Saya rasa langkah Pak Tito itu yang benar," kata Benny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/1/2017).
Namun Benny menyatakan, dalam hal ini penting bagi polisi untuk menjaga netralitas dan independensi.
(Baca: Penyidik Tanya ke Sylviana soal Proses Perencanaan Anggaran Al Fauz)
Ia pun mengatakan, Kapolri harus memantau jajarannya di lapangan dalam mengusut kasus pidana yang melibatkan calon kepala daerah.
"Polisi tidak boleh memihak baik langsung maupun tidak langsung. Apabila ada yang memihak langsung beri sanksi," lanjut dia.
Mantan Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni kembali diperiksa Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim.
Kali ini, calon wakil gubernur DKI Jakarta itu dipanggil sebagai saksi dugaan korupsi pembangunan Masjid Al Fauz di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat.
Sebelumnya Bareskrim Polri juga meminta keterangan Sylviana Murni selaku mantan Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
Polisi tengah membuka penyelidikan baru soal dugaan korupsi dalam pengelolaan dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Kwarda Pramuka DKI Jakarta tahun anggaran 2014 dan 2015.
(Baca: Disebut Paksakan Usut Kasus Sylviana, Ini Tanggapan Polri)
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya mengatakan, Polri terpaksa mengesampingkan Peraturan Kapolri yang diterbitkan Kapolri sebelumnya, Jenderal (Purn) Badrodin Haiti, yang menyatakan pengusutan kasus terhadap calon kepala daerah harus menunggu seluruh proses pilkada tuntas.
Menurut Tito, kasus yang menjerat Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi referensi Polri untuk melanjutkan kasus-kasus lain yang menyeret peserta Pilkada.