JAKARTA, KOMPAS.com - Tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi indikasi tidak berjalannya sistem pengawasan internal Dewan Etik MK.
Patrialis menjadi tersangka penerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging.
Suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tengah ditangani MK.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi memandang bahwa secara internal, Dewan Etik terbukti tidak efektif untuk mengontrol perilaku hakim.
(baca: Patrialis Akbar Sering Diperiksa oleh Dewan Etik MK)
Oleh sebab itu, dia berpendapat perlunya lembaga eksternal seperti Komisi Yudisial yang ikut melaksanakan fungsi pengawasan.
"Secara internal, pengawasan oleh Dewan Etik tidak efektif untuk mengontrol perilaku hakim. Maka harus ada lembaga eksternal untuk mengawasi kinerja para hakim. Pengawasan ini tentunya jangan dipandang sebagai pembatasan, tapi penguatan," ujar Veri saat memberikan keterangan di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2017).
Veri menjelaskan, sejak uji materi pada 2006 atas Undang-Undang Komisi Yudisial, MK menjadi lembaga yang tidak dapat dikontrol.
(baca: Dewan Etik MK Periksa Dua Hakim Terkait Kasus Patrialis)
Melalui uji materi tersebut, MK membatalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Akibatnya, beberapa kali muncul persoalan terkait pelanggaran hukum maupun etik oleh hakim MK.
Sebelumnya mantan Ketua MK Akil Mochtar ditangkap terkait suap penanganan sengketa pilkada.
Sampai tingkat kasasi, Akil divonis bersalah dengan hukuman seumur hidup.
(baca: Mantan Hakim MK Menangis Dengar Patrialis Ditangkap KPK)
Selain itu, Ketua MK Arief Hidayat dinyatakan melakukan pelanggaran ringan terhadap kode etik butir 8 soal kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi.
Arief terbukti memberikan katebelece atau nota keterangan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono agar memberikan perlakuan khusus kepada Jaksa Negeri Trenggalek Muhammad Zainur Rochman yang disebut sebagai kerabat Arief.
Namun, sanksi yang diberikan kepada Arief hanya berupa teguran lisan.
"Melihat fakta-fakta itu seharusnya ada pengawasan internal," tutur Veri.
Hal senada juga diungkapkan oleh dosen hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Fritz Siregar.
Dia mengatakan, sistem pengawasan MK seharusnya dibuat berlapis mengingat MK merupakan lembaga tertinggi penjaga konstitusi.
Selain itu, dia juga menyoroti soal partisipasi masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan serta memberikan masukan yang belum diakomodasi oleh MK.
"Terkait pengawasan saya merasa pentingnya pengawasan yang berlapis dari lembaga eksternal. Selain itu selama ini kritik publik atas putusan MK tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting," ujarnya.