Ketika sudah duduk siap dicukur oleh Mahmoud, mendadak ia diminta mengalah karena ada pelanggan lama berprofesi tentara (saya lupa namanya) yang mesti didahulukan.
Tentara ini dengan santai berkata bahwa merupakan sebuah kehormatan dapat mecukur rambut tentara, maka semestinya tidak perlu diminta bayaran.
Hal menarik lainnya dari film ini adalah keseluruhan nuansanya yang sunyi dan introvert. Pada dunia hari ini yang ultra ekstrovert dan sungguh gegap gempita (jika tidak bisa dibilang berisik), setiap perkataan, dan puisi dan bunyi yang dipilih dengan seksama menjadi langka sekali rasanya.
Wiji Thukul dulu menyuarakan perlawanan lewat karya-karya puisinya, sebagaimana Pramoedya dengan tulisannya.
Pada era sebelum reformasi itu, kritik lewat puisi saja sudah dianggap subversive. Orang-orang yang vokal dengan gagasan demokrasi substantive bisa dianggap berbahaya bagi ketertiban umum. Dan mereka yang tubuhnya bertato, bisa kena operasi Petrus. Tembak di tempat karena dianggap preman yang meresahkan warga.
Salah satu scene yang menurut saya paling indah adalah ketika Thukul digambarkan sedang melamun di atas kapal yang melintasi sungai Kapuas. Menerawang memikirkan nasib dirinya dan juga keluarganya di rumah.
Lalu dibacakan pula salah satu puisinya yang berjudul ‘Tanpa Judul’ dengan cuplikannya;
“kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri pada anak-anakku
kalian telah mengajarkan..
membentuk makna kata Penindasan..”