Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proses Seleksi Hakim MK Harus Dibenahi

Kompas.com - 27/01/2017, 13:00 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar menambah daftar hakim MK berlatar belakang politisi yang bermasalah.

Sebelum Patrialis yang sempat berafiliasi dengan PAN tertanggakp oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Akil Mochtar yang pernah berfiliasi dengan Golkar lebih dulu ditangkap. Tak tanggung-tanggung, saat itu Akli bahkan menjabat sebagai Ketua MK.

Akil divonis seumur hidup. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai, Akil terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan tindak pidana pencucian uang.

Hakim menyatakan, Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa Pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar).

Sedangkan, Patrialis ditangkap dalam operasi tangkap tangan, Rabu (25/1/2017). Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini ditangkap setelah diduga menerima suap sebesar sebesar 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai, tak semua hakim MK yang berlatarbelakang politisi memiliki rekam jejak yang buruk.

(Baca: Patrialis Akbar, Mantan Politisi Kedua yang Terjerat Korupsi di MK)

Ia menyatakan, Mahfud MD dan Hamdan Zoelva merupakan contoh hakim berlatar belakang politisi dengan rekam jejak yang bagus. Mahfud merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sementara Hamdan ialah kader Partai Bulan Bintang (PBB).

Mahfud bahkan pernah membuat terobosan dengan memperdengarkan isi rekaman percakapan Anggodo Widjojo, terpidana kasus percobaan suap terhadap pimpinan dan penyidik KPK, saat sidang MK yang dipimpinnya berlangsung.

“Jadi bukan masalah dari politisi atau tidak, ini menyangkut sistem rekrutmen yang harus dibenahi agar lebih transparan,” ujar Nasir.

Nasir mengkalim, sejauh ini dari tiga institusi yang berhak mengajukan nama hakim MK, hanya DPR yang menjalani mekanisme uji kepatutan dan kelayakan. Sementara dari Presiden dan Mahakahmah Agung (MA) belum menjalani mekanisme tersebut.

(Baca: Patrialis: Demi Allah, Saya Betul-betul Dizalimi)

Hal senada disampaikan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Menurut Jimly, tak selamanya hakim berlatarbelakang politisi memiliki rekam jejak yang buruk.

Ia mengatakan saat ini yang menyebabkan MK seperti ini ialah proses seleksi hakim yang belum menunjukan tranparansi dan akuntabilitas.

Pertama, menurut Jimly, DPR dan MA salah kaprah dalam memahami auran seleksi yang tertuang dalam Undang-undang MK Nomor 24 Tahun 2003.

“Dalam undang-undang tersebut kan jelas, hakim MK diajukan oleh Presiden, MA, dan DPR. Kata oleh sama DPR dan MA, diartikan menjadi dari. Padahal hakim MK yang mereka usulkan tak harus hakim MA atau anggota DPR,” kata Jimly saat dihubungi, Kamis (26/1/2017).

(Baca: Patrialis Akbar, Cita-cita Benahi Hukum Berujung Bui )

Berikutnya, kata Jimly, selama ini calon hakim MK berlatar belakang politisi tidak diharuskan vakum dari partai selama lima tahun sebagaimana persyaratan menjadi komisioner KPU. Padahal, kata Jimly, hal itu penting dilakukan untuk menjaga netralitas sang hakim.

Selain itu, kata Jimly, perlu adanya perubahan sistem masa kerja hakim MK. Semestinya, menurut Jimly, masa kerja hakim MK dibatasi usia, bukan periodesasi seperti sekarang. Sehingga hakim tidak melulu terjebak pada dinamika politik yang ada pada saat rekrutmen.

“Harusnya pakai usia seperti MA, tapi tentu harus diawali dengan proses seleksi yang transparan dan akuntabel. Harus ada Perpres (Peraturan Presiden) atau Perma (Peraturan MA) yang membuat seleksi hakim MK transparan agar menjamin kenegarawanannya,” papar Jimly.

“Selain itu harus ada pembenahan structural dan kultural di MK. Struktur dan kulturr kerja di MK harus menjamin agar para hakim terus menjadi seorang negarawan,” lanjut dia.

 

Kompas TV Dollar SGD Disukai Koruptor untuk Menyuap?

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com