JAKARTA, KOMPAS.com — Ditangkapnya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (25/12/2017) menjadi pukulan telak bagi Mahkamah Konstitusi (MK).
Terlebih lagi, penangkapan terhadap Patrialis menjadi torehan buruk kali kedua bagi MK setelah penangkapan terhadap mantan Hakim MK, Akil Mochtar, pada 3 Oktober 2013 lalu. Akil ditangkap lantaran terlibat suap sembilan sengketa pilkada di MK pada 2011.
Dalam konferensi pers yang digelar di gedung MK di Jalan Medan Merdeka Barat 6, Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2017), Ketua MK Arief Hidayat mengungkapkan penyesalannya dan berharap bahwa penangkapan Patrialis menjadi "catatan merah" terakhir bagi MK.
"Saya mohon (penangkapan) ini yang terakhir karena kami juga sangat shock dan berat sekali menerima musibah ini," tutur Arief.
Arief berharap, persoalan hukum yang menjerat Patrialis dapat segera dituntaskan. Hal ini demi menjaga nama baik dan martabat MK sehingga tetap dipercaya masyarakat.
"Kami mohon doa restu kepada seluruh rakyat Indonesia dan mass media supaya badai cepat berlalu karena hujan segera berhenti, dan kami mohon restunya supaya mahkamah ini tetap menjadi mahkamah yang didambakan rakyat Indonesia," kata Arief.
(Baca: Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik)
KPK, kata Arief, juga dipersilakan meminta keterangan semua hakim konstitusi meskipun tanpa didahului izin kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mewakili MK, Arief pun menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia.
"Kami semua hakim konstitusi merasa sangat prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut terjadi di tengah MK yang sedang berikhtiar membangun sistem yang diharapkan dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat kode etik konstitusi," kata dia.
Ditangkap di pusat perbelanjaan
Dalam konferensi pers yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, terungkap bahwa operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Patrialis dilakukan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat.
"Di Grand Indonesia, Jakarta, bersama seorang wanita," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Selain Patrialis, KPK mengamankan 10 orang lainnya di dua tempat berbeda, yakni di lapangan golf Rawamangun dan sebuah kantor di bilangan Sunter, Jakarta Utara.
Pada kasus ini, Patrialis diduga menerima suap senilai 20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar dari pengusaha pengimporan daging, Basuki Harman, melalui Kamaludin.
(Baca: Patrialis Akbar, Cita-cita Benahi Hukum Berujung Bui)
Suap yang diterima Patrialis guna meloloskan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sedang diproses di MK. Adapun uji materi ini teregistrasi dengan nomor perkara 129/PUU/XII/2015.
Saat ini, uji materi sejumlah pasal dalam UU tersebut telah mencapai tahap akhir, atau hanya tinggal menunggu pembacaan putusan. Dalam penangkapan itu juga, KPK menyita sejumlah barang bukti lainnya.
"KPK mengamankan dokumen perusahaan, voucer penukaran mata uang asing, serta draf putusan perkara nomor 129," ujar Basaria.
KPK telah menetapkan empat orang, termasuk Patrialis, sebagai tersangka. Sementara itu, tujuh orang lainnya masih berstatus sebagai saksi.
Rekrutmen bermasalah
Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan, Erwin Natosmal Oemar, berpendapat, penangkapan Patrialis menunjukkan buruknya sistem seleksi calon hakim MK.
Menurut Erwin, integritas belum dijadikan sebagai faktor utama dalam penilaian. Hal itu terlihat dari prosesnya yang kental nuansa politis. Misalnya, dalam proses pengangkatan Patrialis sebagai hakim MK yang sempat diwarnai kontroversi.
Sebagai politisi, banyak pihak yang meragukan independensinya. Kemudian, di sisi lain, pengawasan yang dilakukan Dewan Etik MK juga tidak berjalan dengan baik.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, menyarankan agar rekrutmen hakim MK dilakukan lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik.
(Baca: Patrialis Akbar, Mantan Politisi Kedua yang Terjerat Korupsi di MK)
Berdasarkan UUD 1945, komposisi hakim MK berjumlah sembilan orang yang diusulkan oleh tiga lembaga negara, yakni presiden, DPR, dan MA. Tiap-tiap lembaga tersebut mengusulkan tiga hakim konstitusi.
Menurut Nasir, dalam hal rekrutmen, hanya DPR yang paling transparan. Sebab, calon yang diajukan akan melewati tahap uji kelayakan dan kepatutan.
Sementara itu, seleksi oleh MA dan Presiden dilakukan secara tertutup. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dalam UU MK perihal perekrutan.
"Saya kira proses rekrutmen harus dibenahi, kalau dari MA dan presiden sering tidak transparan prosesnya," kata Nasir.