Saat itu, ia anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Namun, ia tidak terpilih.
Patrialis kembali melamar menjadi calon hakim MK ketika DPR membuka pendaftaran pada 2013 untuk menggantikan Mahfud. Namun, ia mengundurkan diri.
Bermasalah
Penunjukan Patrialis sebagai penjaga konstitusi sempat menjadi polemik. Keputusan SBY itu dinilai menyalahi tata cara pemilihan hakim konstitusi.
Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.
Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.
Penjelasan Pasal 19 mengatur, calon hakim konstitusi harus diumumkan melalui media cetak ataupun elektronik sehingga masyarakat dapat memberi masukan terhadap calon hakim konstitusi itu.
Proses seleksi dalam penunjukan Patrialis tidak seperti yang dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden pada 2008 yang menggunakan seleksi terbuka.
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (ICW dan YLBHI) kemudian menggugat Kepres 87/P Tahun 2013 ke pengadilan tata usaha negara.
Sebaliknya, pemerintah ketika itu meyakini tidak ada aturan yang dilanggar. Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih calon hakim konstitusi.
Proses seleksi oleh Wantimpres itu dianggap pemerintah bukanlah kebiasaan tata kenegaraan yang baku.
Seperti dikutip Kompas, Kamis (26/11/2013), PTUN Jakarta kemudian membatalkan keppres tersebut.
PTUN meminta pemerintah mencabut keppres tersebut dan menerbitkan keppres baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PTUN menilai pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.
Pemerintah kemudian banding. Dalam proses banding itu, Patrialis tetap menjadi hakim konstitusi.
(Baca juga: Patrialis Akbar, Cita-cita Benahi Hukum Berujung Bui)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta kemudian membatalkan keputusan PTUN Jakarta.
PTTUN mengakui legal standing penggugat (ICW dan YLBHI), tetapi kedua lembaga tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan pribadi atas pengangkatan dua hakim konstitusi tersebut.
Patrialis lalu tetap menjadi hakim konstitusi hingga akhirnya ditangkap KPK.
(Baca juga: Kronologi Penangkapan Patrialis Akbar oleh KPK di Grand Indonesia)