JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan, kaburnya tujuh tahanan kasus narkoba menunjukkan bahwa mereka tidak kooperatif dengan polisi.
Dengan adanya upaya tersebut, maka memungkinkan adanya pemberatan hukuman saat menghadapi persidangan.
"Lazimnya kalau berhasil ditangkap akan menjadi catatan. Hukumannya bisa maksimal," ujar Boy di kompleks PTIK, Jakarta, Kamis (26/1/2017).
Namun, berat atau tidaknya hukuman tetap ditentukan di pengadilan perkaranya. Tindakan ketujuh tersangka itu bisa menjadi catatatn yang memberatkan di pengadilan.
"Catatan selama penyidikan menjadi bagian yang disimpulkan penyidik, termasuk jaksa penuntut umum," kata Boy.
Dari tujuh tahanan yang kabur, satu di antaranya sudah tertangkap, yaitu Ridwan Ramdan alias Mame (22).
Selain mengincar enam tahanan lain, polisi juga memeriksa petugas yang menjaga rumah tahanan saat mereka kabur. Pemeriksaan dilakukan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
"Dalam hal ini patut diduga ada kelalaian dalam proses jaga tahanan," kata Boy.
Adapun enam tahanan yang masih belum tertangkap yaitu Azizul alias Izul (30), Cai Chang alias Antoni (49), Anthony alias Ridwan (33), Amiruddin alias Amir (37), Ricky Felani alias Ruslan (30), dan Sukma Jaya alias Jaya (34).
Ketujuh tahanan melarikan diri dengan cara melubangi tembok kamar mandi dengan menggunakan batang besi sepanjang 30 sentimeter.
Setelah berhasil keluar, mereka menuju halaman parkir Rumah Sakit (RS) Otak Nasional yang berada persis di samping Gedung Badan Narkotika Nasional (BNN).
Polisi juga membuka rekaman CCTV milik Ditnarkoba Bareskrim Polri dan RS Pusat Otak Nasional.