Pembangunan dimulai, namun alat berat tidak dapat masuk karena akses tertutup oleh dua paviliun di sayap kiri dan kanan rumah. Setelah izin pembangunan keluar, akhirnya diputuskan oleh pemerintah DKI Jakarta saat itu paviliun boleh dibongkar, asalkan dibangun kembali.
“Kami tim pemugaran Candra Naya dengan teliti menggambar bentuk bangunan tersebut, mendata bentuknya, isinya seperti apa, ornamennya, supaya dapat dibangun kembali dengan bentuk yang sama,” ujarnya.
Janji pembangunan kembali dua paviliun tersebut ditepati, namun di saat yang bersamaan terjadi krisis moneter. Keamanan negeri pun terganggu dan terjadilah kerusuhan Mei 1998.
“Yang punya rumah, ahli waris, melarikan diri. Baru 13 tahun kemudian proses pembangunan kembali bisa terselesaikan,” cerita Naniek.
Pada tahun 2006 pemilik rumah mendapat kesadaran penuh untuk memugar dan mengkonservasi rumah utama dan bangunan pelengkapnya. Proses pemugaran hingga tampilan rumah tersebut menjadi seperti saat ini selesai di tahun 2008.
Refleksi kecerdasan Khouw Kim An
Atap tersebut ternyata dibuat sejak rumah tersebut dibangun, bukan modifikasi modern yang dibuat oleh tim konservasi.
Atap dari kaca tersebut merupakan pengganti tian jin, atau sumur langit dalam istilah filosofi bangunan China.
Setiap rumah tapak dengan model arsitektur China memiliki tian jin, yaitu bagian terbuka pada atap yang menghubungkan area inner-court (dalam rumah) dengan udara luar.
“Di sini terlihat bahwa Khouw Kim An sudah sangat pandai memodifikasi filosofi bangunan China disesuaikan dengan kondisi iklim di Indonesia yang tropis dan hujannya tidak terkira. Atap tidak dibuat terbuka melainkan ditutup dengan atap kaca atau istilahnya dibuat menjadi skylight,” ucap Naniek.
Ia berasumsi, Khouw Kim An sudah memperkirakan jika atap dibuat terbuka, maka ketika hujan, ruang tengah yang menjadi lokasi aktivitas keluarga akan terguyur hujan. Aktivitas pun terganggu.
“Tetap ada kotakan terbuka tapi dibuat tertutup atap kaca,” kata Naniek.
Saksi bisu dua pergolakan politik
Rumah tersebut sebenarnya memiliki “saudara kembar”. Ayah Khouw Kim An, yaitu Khouw Tian Sek sebenarnya membangun tiga rumah dengan struktur, bentuk, dan luas yang sama di Molenvliet West, nama area Gajah Mada pada masa kolonial Belanda, untuk ketiga anak laki-lakinya.
Namun saat ini hanya rumah milik Mayor Khouw Kim An saja yang tersisa. Dua rumah lainnya sempat dimanfaatkan sebagai Kedutaan Besar China dan sekolah SMA Negeri 2. Pada tahun 1965, pada saat terjadi G 30 S PKI terdapat gerakan anti Baperki, asosiasi dagang China. Dua rumah tersebut dihancurkan.
“Kalau ditanya mengapa hanya rumah Khouw Kim An yang tersisa? Jawabannya tidak tahu, barangkali Tuhan ingin rumah itu tetap bertahan sampai sekarang sehingga bisa jadi saksi sejarah,” kata Naniek.
Pada tahun 1998 ketika kerusuhan Mei 1998 bergejolak, rumah ini berada dalam tahap pemugaran dan konservasi yang ditangani oleh Tim Independen Pemugaran Candra Naya di bawah supervisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Tim pemugar sempat takut rumah tersebut menjadi sasaran massa dan material yang diselamatkan dari bangunan aslinya musnah .
“Saat itu gazebo yang bentuknya knock-down sudah terpasang tinggal didirikan saja. Kemudian kerusuhan dan bakar-bakaran terjadi. Saya sempat khawatir,” lanjutnya.
Namun akhirnya, rumah itu selamat dari amuk massa dan bisa dipugar hingga hasilnya bisa dinikmati warga Jakarta saat ini. Keberadaan gedung Candra Naya ini pun semakin menguatkan budaya Tiong Hoa yang sudah berabad-abad ada di Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.