Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Penghinaan di RUU KUHP Diminta Diperjelas

Kompas.com - 18/01/2017, 10:37 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengingatkan DPR RI untuk lebih memperjelas penggunaan kata "alasan membela diri" dalam perkara penghinaan.

Hal ini terkait revisi KUHP Bab XIX Tindak Pidana Penghinaan yang meliputi pasal Pencemaran, Fitnah, Penghinaan Ringan, Pengaduan Fitnah, Persangkaan Palsu, serta Penistaan Terhadap Orang yang Sudah Meninggal.

Menurut dia, ada potensi pembatasan kebebasan berekspresi yang dimaknai sebagai suatu penghinaan terhadap orang atau kelompok tertentu.

"Ini agar kebebasan berekpresi terkait kritik tidak dicampur adukkan dengan menghina," ujar Supriyadi melalui siaran pers, Rabu (18/1/2017).

Supriyadi mengatakan, tindak pidana penghinaan dalam RKUHP itu, khususnya untuk unsur penghinaan, semestinya lebih presisi.

Menurut dia, selama ini ekspresi yang bersifat kritik seringkali dilaporkan ke aparat penegak hukum sebagai penghinaan.

ICJR juga menyayangkan, hanya ada dua alasan yang dapat digunakan untuk membela diri dalam perkara penghinaan.

"Yakni untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri," kata dia.

Padahal, secara internasional, ada perkembangan alasan pembenar yang dapat digunakan dalam perkara-perkara penghinaan.

Alasan pembenar yang umum digunakan antara lain kebenaran pernyataan, hak-hak istimewa dan kesengajaan berbuat salah, pernyataan dibuat dengan niat baik dan terdapat dasar yang cukup bahwa pernyataan tersebut adalah benar adanya, serta pendapat yang wajar dalam konteks kepentingan umum.

Berdasarkan hasil penelitian ICJR, dari perkembangan penanganan perkara penghinaan dalam persidangan, pengadilan telah memperluas alasan-alasan pembenar.

Alasan pembenar tersebut, yakni di muka umum, kepentingan umum, dan kebenaran pernyataan.

"Namun hasil sidang pembahasan rancangan KUHP sampai saat ini belum mencapai beberapa doktrin baru mengenai beberapa alasan pembenar yang dapat digunakan bagi tindak pidana penghinaan," kata Supriyadi.

Supriyadi menambahkan, alasan pembenar ini penting menjadi perhatian untuk melihat sisi hak asasi manusia dalam perkara penghinaan.

Dengan demikian, ada jaminan agar hak kebebasan berekpresi dan tidak dipidana.

Tak hanya itu, ICJR juga mengkritisi meningkatnya ancaman pidana bagi tindak pidana penghinaan dalam Revisi KUHP.

Untuk pidana fitnah dan pengaduan fitnah yang saat ini berlaku ancaman maksimalnya empat tahun, naik menjadi lima tahun.

Kemudian, pidana penghinaan ringan yang hanya diancam empat bulan dan dua minggu penjara dalam KUHP yang berlaku saat ini, naik dengan ancaman hukuman maksimal satu tahun penjara dalam RKUHP.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Dukung Prabowo dan Megawati Bertemu, Airlangga Singgung Periode Kritis RI 10 Tahun ke Depan

Nasional
Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Nasional
Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Nasional
Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com