JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pengamat memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab munculnya fenomena populisme di Indonesia.
Kesenjangan sosial memicu lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah dan beralih pada tokoh-tokoh populis.
Tokoh populis yang cenderung anti-demokrasi dan anti-pluralisme itu dipercaya membawa ide-ide kemakmuran bagi rakyat.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan, saat ini pemerintah belum berhasil mengatasi kesenjangan ekonomi.
(baca: Ancaman Gerakan Populis terhadap Demokrasi di Indonesia)
Dia menyebut, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Kekayaan tersebut diperoleh karena faktor kedekatan dengan kekuasaan.
Sementara di sisi lain, pemerintah belum mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok pekerja.
Menurut Faisal, pendapatan kelompok masyarakat pekerja cenderung menurun. Hal itu diperparah dengan bertambahnya jam kerja karena tekanan ekonomi.
"Mayoritas pendapatan petani, buruh tani dan buruh bangunan menurun. Karena tekanan ekonomi jam kerja pun jadi bertambah, rata-rata 49 jam per minggu. Kelompok Pekerja di Indonesia masuk kategori pekerja keras nomor tiga setelah Hongkong dan Korea," ujar Faisal dalam diskusi 'Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme' di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2017).
Faisal menuturkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masih terdapat 28,01 juta jiwa yang hidup miskin.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.