Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Suara Lirih 100 Daerah untuk Pilkada 2017

Kompas.com - 11/01/2017, 17:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

KOMPAS.com - Hanya beberapa pekan lagi, masyarakat di 101 daerah terdiri atas tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota yang menggelar Pilkada serentak 2017 akan menentukan pilihannya. Sayangnya, hingga saat ini, hanya Pilkada Jakarta yang menguasai bahkan cenderung mencengkam panggung media.

Hampir tak ada kabar pilkada di luar Jakarta, selain Pemilihan Gubernur Banten yang mencuri pemberitaan media arus utama (mainstream). Kecenderungan yang terjadi, media konstan memberitakan Pilkada Jakarta.

Semakin miris jika Anda menengok media baru (new media) dalam hal ini media online yang dijubeli informasi dan berita tentang persaingan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono berebut posisi DKI 1.

Memang benar, tak sedikit pertarungan ide ketiga calon Gubernur tersebut menarik dan menginspirasi bagi daerah lain, sayangnya banyak pula retorika para calon terutama penantang yang menggelitik kalau tak ingin disebut menyedihkan.

Tak bisa dibayangkan efeknya di masa mendatang jika wacana-wacana menyedihkan yang dilontarkan secara sadar di Jakarta yang menjadi barometer dialektika itu lantas direplikasi secara sadar oleh beberapa calon kepala daerah agar terlihat keren dan kekinian.

Kenyataan dan kemungkinan ini tak dapat diabaikan mengingat Jakarta terlanjur diposisikan sebagai pusat segala hal: pusat administrasi pemerintahan dan pusat bisnis sekaligus artinya pusat informasi karena terjadinya sentralisasi korporasi media pun terjadi di Ibu Kota.

Berjubelnya media di Jakarta menciptakan kondisi informasi Jakarta menghegemoni dialektika daerah-daerah. Sementara hal-hal baik dari daerah termasuk calon pemimpin yang baik pun andai muncul masih dapat dihitung dengan jari.

Padahal jika jeli, ajang Pilkada tak sedikit menghasilkan bibit-bibit potensial pemimpin nasional selain Joko Widodo dari Solo dan Ahok di Bangka Belitung, ada pula Risma di Surabaya, Suyoto di Bojonegoro maupun Nurdin Abdullah di Bantaeng maupun pemimpin-pemimpin daerah yang telah melakukan terobosan.  

Tak hanya itu, contoh baik lain di daerah adalah ketika isu agama calon pemimpin DKI kali ini menggelegar dipolitisasi faktanya sudah beberapa Pilkada pasangan berbeda agama maju tanpa persoalan berarti. Tak sedikit bahkan menang.

Sebagai contoh selain Jokowi dan Ahok, ada Teras Narang di Kalimantan Tengah, Karel Alberth Ralahalu di Maluku dan Abraham Octavianus Atururi di Papua Barat. 

Tahun ini bahkan ada kasus unik, bahkan di dunia sekalipun namun sayangnya itu terjadi di sudut Indonesia. Ketika pasangan Pastor dan Ustad yaitu Pastor Rantinus Manalu Pr dan Ustadz Sodikin Lubis bertarung di Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Romo Rantinus merupakan imam Keuskupan Sibolga maju sebagai calon bupati. Sedangkan Ustadz Sodikin sebagai calon wakil. Tak main-main, pasangan yang pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumut pada 2012 dan kemudian mentahbiskan diri dengan akronim PAUS itu maju melalui jalur independen.

Sayangnya, contoh-contoh baik nan menginspirasi itu terjadi di luar Jakarta dimana suara-suara tersebut terdengar sayup bahkan lirih tak terdengar sehingga dapat dipancarluaskan oleh media-media arus utama (mainstream) untuk kemudian diamplifikasi oleh media sosial.

Jika kita membahas media arus utama yang paling diakses masyarakat dalam hal ini adalah televisi, maka kondisi ini tak lepas dari ketidaktegasan pemerintah, siapapun Presiden dan Menterinya, sebagai regulator dalam melaksanakan sistem televisi berjaringan yang seharusnya diberlakukan sejak 2009.

Benar bahwa, sejumlah televisi di daerah telah bermitra dengan televisi nasional namun pada kenyataannya dapat Anda lihat siaran berita lokal masih terpinggirkan oleh praktik relay berita-berita Jakarta sehingga membuat semangat keberagaman isi siaran (diversity of content) memudar.

Kenyataan menyedihkan tersebut telah bertahun-tahun tidak mampu dicarikan jalan keluarnya oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah yang sebetulnya memiliki kekuatan tekan ketika televisi-televisi daerah melakukan evaluasi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait perpanjangan izin siar.

Bagaimana dengan media cetak? Selain permasalahan klasik rendahnya minat baca masyarakat, tak bisa dimungkiri banyak koran di daerah yang tidak terafiliasi dengan jaringan media cetak nasional terengah-engah menjalankan bisnisnya.

Alih-alih memikirkan konten sebagai counter narasi, koran-koran di daerah akhirnya kerap kali terpaksa secara sadar menyuguhkan berita-berita dari Jakarta yang lebih menarik pembacanya, yang kebetulan mengkonsumsi televisi Jakarta.

Maka jika ada koran di daerah masih getol menyoroti isu-isu politik daerahnya secara kritis, hal tersebut adalah sebuah kemewahan dan pengabdian para pengelola koran tersebut. Sisanya? Anda pantas waspada jika koran tersebut mendadak kritis, karena bisa jadi itu akibat motif ekonomi terkait Pilkada.

Bagaimana dengan media online? Awal tahun lalu Dewan Pers sudah memperingatkan dari sekitar 2000 media online yang terdaftar hanya 10 persen yang bekerja sesuai kaidah jurnalistik!

Maka, jika kita bicara tentang media sosial sebagai penerus berita produksi media online bisa dikatakan kemudahan memiliki gawai pintar (smartphone) yang terkoneksi dengan internet benar-benar telah mengubah pola konsumsi media masyarakat kita.

Ironisnya, di beberapa daerah, tak sedikit masyarakat yang belum tuntas melalui tahapan evolusi komunikasi dari cetak ke audio visual dalam artian tidak memiliki cukup kemampuan literasi media dipaksa langsung menyesuaikan diri dengan banjir informasi melalui gawai pintar mereka.

Banjir informasi dan minim literasi media tak bisa dibantah membangkitkan kembalinya konsepsi “powerful mass media” yang dipopulerkan Noelle-Neuman (1973) pada masyarakat kita yang gemar mengkonsumsi informasi secara instan makin percaya dengan rumor, propaganda, fitnah hingga tentu saja Fitsa Hats.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com