Siapa saja yang ingin membeli atau menggunakan sebuah barang yang jenisnya sudah dapat atau mampu dikerjakan di dalam negeri, maka mereka otomatis terbelenggu oleh pagar yang kokoh dari sebuah pemahaman "patriotisme" yaitu harus menggunakan produk dalam negeri.
Pada titik ini maka perdebatan tentang kualitas dan spesifikasi teknis menjadi sesuatu yang tidak mudah dicerna dan apalagi dikompromikan. Sebenarnya, posisi para pembeli dan pengguna adalah berada di posisi garis kedua dari proses pembangunan sikap patriotisme dalam hal penggunaan barang produksi dalam negeri.
Justru yang berada dalam garis pertama pada kerangka mengembangkan sikap nasionalisme dan kebanggaan serta harga diri bangsa adalah pihak produsen. Pihak produsenlah yang harus memulai sedemikian rupa sehingga produknya adalah sebuah produk yang berkualitas sehingga dapat dijadikan andalan bagi para calon pengguna barang produksinya.
Itu sebabnya, maka sebuah industri pertahanan strategis sebuah negara, dipastikan akan membutuhkan subsidi yang besar dari pemerintah dan juga sekaligus harus memperoleh proteksi atau perlindungan terutama dalam pemasaran produksinya.
Industri pertahanan, dimanapun dan dalam bentuk apapun, tetap harus dan memerlukan aspek kerahasiaan sekaligus juga aspek kehandalan dari kualitas produk yang dihasilkannya. Industri pertahanan strategis dalam negeri harus digunakan terlebih dahulu oleh pengguna di dalam negeri, baik sipil maupun atau terutama militer.
Khusus untuk produk yang berteknologi tinggi, seperti pabrik pesawat terbang, maka pabrikan harus memiliki produk unggulan yang dapat diandalkan sebagai "prime mover" dari industri pertahanaan strategis tersebut.
Dengan demikian maka subsidi dari pemerintah dapat secara berangsur dikurangi. Dalam target yang seperti itulah maka pihak pengguna dapat berperan serta bahkan peran utama sebagai "laboratorium lapangan" bagi penyempurnaan produk dalam mencapai kriteria "war-proven" (terbukti canggih) untuk sampai pada tingkat yang "marketable" (laku dijual) di kancah global.
Pada posisi ini, maka sebenarnya, semua hal tersebut sudah pernah berjalan cukup baik pada produk PTDI yang bernama CN-235. Sebuah produk dengan kualitas "layak-pakai" yang kemudian digunakan sebanyak 1 skadron di Angkatan Udara untuk versi militer dan sejumlah CN-235 versi sipil yang digunakan oleh MNA, Merpati Nusantara Airlines, bagi beberapa rute domestiknya.
Berikutnya yang kemudian terjadi adalah CN-235 digunakan juga dibanyak negara untuk berbagai misi operasi sipil dan militer. CN-235 sudah berhasil mencapai taraf "war-proven" sekaligus "marketable".
Itu semua adalah hasil anak bangsa yang pemakaiannya dipelopori oleh pengguna dalam negeri terlebih dahulu (AU dan MNA) hingga dapat merangsang negara-negara lain untuk juga mengikutinya. Sebuah kebanggaan yang tiada tara tentunya bagi kita sebagai bangsa.
Sayangnya, kini realita yang dihadapi adalah lenyapnya (nyaris tanpa bekas) skadron CN-235 di Angkatan Udara dan juga menghilangnya pesawat terbang CN-235 yang digunakan MNA yang bahkan MNA sendiri punah dari permukaan kancah sistem angkutan udara nasional.
Masalah ini adalah merupakan sinyal kuat bahwa telah terjadi sesuatu yang memerlukan koreksi fundamental dalam pengelolaan PTDI sebagai salah satu cabang utama industri pertahanan strategis yang seharusnya dapat diandalkan.
Tidak memerlukan analisis berkepanjangan dalam hal ini, karena kenyataan telah menunjukkan bahwa PTDI memang memerlukan semacam langkah "re-structuring" agar dapat mengembalikan reputasinya sebagai penghasil pesawat terbang yang berkualitas "layak-pakai" dan handal sekelas CN-235.
Pertanyaan sederhana yang harus dijawab terlebih dahulu adalah mengapa kesuksesan CN-235 sebagai sebuah produk unggulan tidak mampu berlanjut. Sejatinya , maka CN-235 adalah benar-benar murni produk dalam negeri yang sukses meraih pasar dunia.
Sementara untuk pesawat helikopter, industri pertahanan dalam negeri baru berada dalam peringkat sebagai "perakit" yang belum cukup handal untuk dapat naik peringkat yang dapat disamakan sebagai produsen setingkat produk CN-235.