Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pencabutan Hak Politik Sanusi Tak Dikabulkan Hakim, Ini Kata KPK

Kompas.com - 29/12/2016, 22:51 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengatakan, KPK masih mempelajari putusan majelis hakim atas kasus suap Raperda Reklamasi dengan terdakwa Mohammad Sanusi.

"Kita masih pikir-pikir," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/12/2016). Baik KPK maupun pihak Sanusi diberi waktu tujuh hari untuk menentukan sikap.  

Majelis hakim dalam putusannya menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 250 juta rupiah, subsider dua bulan kurungan kepada Sanusi.

(Baca: Sanusi Divonis Tujuh Tahun Penjara)

Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa, yakni 10 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan.

Selain itu, Sanusi juga dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah ia menjalani masa hukumannya. Namun tak dikabulkan majelis hakim. 

"Sudah koordinasi dengan tim penuntutan akan pelajari lebih dulu," ujar Febri. 

Terkait pencabutan hak politik, Febri mengatakan, itu merupakan inisiasi KPK guna menimbulkan efek jera. Khususnya bagi para pejabat negara yang terlibat korupsi.

Jaksa pada KPK pun, kata Febri, selalu menyertakan tuntutan dicabutnya hak politik disetiap persidangan pejabat negara yang didakwa korupsi.

"Pencabutan hak politik memang diniisasi belakangan terutama aktor yang berasal dari lembaga politik baik DPRD maupun DPR, DPD atau institusi lain terkait sektor politik. Bagi KPK pencabutan hak politik untuk memberikan efek jera," kata dia.

Febri menambahkan, KPK berharap Mahkamah Agung (MA) punya pemikiran yang sama dalam pencegahan korupsi melalui pencabutan hak politik.

(Baca: Pertimbangan Hakim Tak Cabut Hak Politik Sanusi)

Sedianya hal itu bisa diakomodasi dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi.

"Harapan KPK jajaran MA punya mind-set bersama-sama untuk memberantas korupsi sektor politik dan pencabutan ini diatur dalam UU tipikor," kata dia.

Menurut Ketua Majelis Hakim Sumpeno, tak dikabulkannya pencabutan hak politik karena hak politik sudah diatur dalam undang-undang tersendiri. Hakim tidak sependapat jika hak politik disertakan dalam vonis kasus tersebut.

"Mengenai pencabutan hak politik, majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum karena masalah politik telah diatur dalam undang-undang tersendiri dan masyarakat yang akan menentukan pilihannya," ujar Sumpeno. 

Kompas TV Tipikor Gelar Sidang Putusan Kasus Suap Raperda Reklamasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com