JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyoroti sejumlah poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Poin itu terutama mengenai hak-hak korban terorisme.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, dalam pemberantasan terorisme, pemerintah cenderung terfokus pada penghukuman pelaku terorisme.
Sementara, hak korban masih minim diperjuangkan.
"Hak-hak korban ini sudah diakui, sebenarnya. Tapi ada hal-hal yang bersifat teknis yang masih harus diatur," ujar Semendawai, seusai merilis catatan akhir tahun LPSK, di Kantor LPSK, Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, Rabu (28/12/2016).
Ia menyebutkan, salah satu contohnya mengenai kompensasi.
Menurut dia, perlu ada hukum acaranya.
Dengan demikian, ke depannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di pengadilan tidak lagi ragu-ragu memperjuangkan kompensasi terhadap korban terorisme.
Selain itu, juga melalui penyederhanaan pemberian kompensasi. Misalnya, tak perlu melalui pengadilan.
"Cukup dinyatakan penggantian kerugian dengan skema tertentu yang sudah ditentukan pemerintah. Model asuransi atau kecelakaan lalu lintas kan sudah ada. Tanpa harus menunggu putusan (pengadilan)," kata dia.
Ketiga, mengenai pihak yang berwenang menyatakan bahwa seseorang merupakan korban tindak pidana terorisme.
Hal itu diperlukan agar jelas siapa saja yang berhak mendapatkan kompensasi.
"Tapi yang jadi masalah, adalah belum ada kepastian lembaga mana yang berwenang," kata Semendawai.
Menurut dia, pihak yang bisa diberi kewenangan adalah Kepolisian.
Sebab, mereka adalah pihak yang mengetahui persis siapa pelaku dan korban dari peristiwa terorisme.