Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR dan Gaduhnya Pembahasan Rancangan Undang-Undang...

Kompas.com - 20/12/2016, 07:25 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

RUU ITE

Proses pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) juga tak kalah mendapatkan sorotan publik.

Sejumlah pihak menilai, ketentuan dalam UU itu berpotensi mengancam kebebasan berekspresi.

Berdasarkan informasi yang diungkapkan Syaifullah AF dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), "pasal karet" UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (3) sudah menjerat setidaknya 74 orang.

Pasal tersebut kerap digunakan sebagai senjata oleh pihak penguasa untuk menghindari kritik publik, terutama yang diungkapkan di media maya.

Pembahasan revisi UU ITE juga dinilai sangat tertutup. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju misalnya, mencatat bahwa dari dua kali rapat kerja dan lima kali rapat Panitia Kerja (Panja), seluruhnya digelar tertutup.

Hal itu, menurutnya, menciderai semangat DPR yang ingin membuat lembaga tersebut transparan dan akuntabel.

Meski menuai pro dan kontra, revisi UU ITE akhirnya disahkan pada sidang paripurna 27 Oktober 2016.

Ada empat perubahan pasal. Pertama, adanya penambahan pasal hak untuk dilupakan atau "the right to be forgotten". Hak tersebut ditambahkan pada Pasal 26.

 Intinya, tambahan pasal ini mengizinkan seseorang untuk mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, tetapi diangkat kembali.

 Kedua, adanya penambahan ayat baru pada Pasal 40. Pada ayat ini, pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi melanggar undang-undang.

 Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. Jika ada situs berita resmi yang dianggap melanggar UU tersebut, penyelesaiannya akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.

Ketiga, menyangkut tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan.

UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti. menyangkut pemotongan masa hukuman dan denda.

Ancaman hukuman penjara diturunkan dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya penjara di bawah lima tahun.

 Hukuman denda berupa uang juga diturunkan. Dari awalnya maksimal Rp 1 miliar, menjadi Rp 750 juta.

Selain itu juga menurunkan ancama pidana kekerasan Pasal 29, sebelumnya paling lama 12 tahun, diubah menjadi 4 tahun dan denda Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.  

RUU Pemilu

Rancangan Undang-Undang Pemilu menjadi UU yang diproyeksi sangat strategis.

Pasalnya, RUU tersebut menggabungkan tiga UU, yaitu UU Penyelenggaraan Pemilu, UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilu Presiden.

 Setiap partai politik berebut untuk bisa memperjuangkan kepentingannya dalam proses pembahasan UU tersebut.

Belum masuk ke tahap pembahasan, tarik menarik sudah terjadi. Misalnya, pada pemilihan pimpinan Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu.

 Saat itu, PDI Perjuangan dan Partai Golkar sama-sama berambisi mendapatkan kursi Ketua Pansus.

Alih-alih meraih kursi Ketua Pansus, kedua partai tersebut justru tak meraih kursi pimpinan Pansus.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lukman Eddy lah yang terpilih sebagai Ketua Pansus, didampingi tiga wakilnya, Ahmad Riza Patria (Partai Gerindra), Yandri Susanto (Partai Amanat Nasional) dan Benny K Harman (Partai Demokrat).

 Lepas dari polemik perebutan kursi Ketua Pansus, sejumlah pasal dianggap krusial dalam pembahasan RUU Pemilu.

Pasal-pasal itu di antaranya ambang batas parlemen (parliamentary threshold), sistem pelaksanaan pemilu terbuka-tertutup, hingga jumlah daerah pemilihan.

Namun, sejumlah pihak menilai ada banyak pasal dalam draf RUU Pemilu yang dianggap bermasalah karena melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kerja Pansus tak mudah. Sebab, waktu yang diberikan hanya hingga Mei 2017. Tahapan pemilu legislatif dan pemilu presiden akan segera dimulai.  

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com