JAKARTA, KOMPAS.com - Sepanjang 2016, dinamika di lembaga parlemen seakan tak pernah tenang. Panas, dan penuh dinamika.
Dinamika karena kekuatan politik di dalamnya "berjuang" untuk dirinya sendiri.
Mulai dari pengunduran diri Setya Novanto dari kursi Ketua DPR, hingga keributan karena Novanto kembali menginginkan kursi yang sudah dilepasnya.
Pasca Novanto kembali didapuk memimpin parlemen, PDI Perjuangan "berjuang" untuk mendapatkan jatah kursi pimpinan DPR.
Sebagai partai dengan kursi terbanyak, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu merasa layak mendapat bagian di jajaran kursi pimpinan.
Di saat mereka ribut untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, kinerja legislasi DPR menjadi sorotan.
Penyelesaian RUU tertatih-tatih.
Kursi untuk Novanto
"Ribut-ribut" soal pergantian Ketua DPR berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan rekaman percakapan antara Setya Novanto dan Chairman Freeport Mcmoran James Moffett, yang direkam oleh Direktur PT Freeport Indonesia (sekarang mantan), Maroef Sjamsoeddin, tidak sah secara hukum.
MK memutuskan bahwa tuduhan Novanto melakukan permufakatan jahat karena mencatut nama Presiden Jokowi saat melobi Moffett untuk perolehan saham tak bisa diproses secara hukum, karena bukti rekaman tidak sah.
Berdasarkan dua putusan itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR merehabilitasi nama baik Novanto.
Golkar pun mulai bergerak. Novanto, yang merupakan ketua umum partai berlambang pohon beringin itu, diwacanakan kembali menjadi Ketua DPR.
(Baca: "Jalan Super-mulus" untuk Setya Novanto)
Alasannya, demi kehormatan partai. Kursi Ade Komarudin, yang menggantikan Novanto, mulai digoyang.
Rapat pleno DPP Partai Golkar memutuskan untuk kembali menempatkan Setya Novanto sebagai Ketua DPR.