JAKARTA, KOMPAS.com – Keputusan pemerintah menolak wacana moratorium pelaksanaan ujian nasional dinilai membingungkan.
Pemerintah pun dianggap tidak satu suara atas gagasan yang muncul dari kalangan eksekutif itu sendiri.
"Pemerintah tidak kompak, ribut sendiri. Sangat membingungkan birokrasi di tingkat pelaksanaannya, baik di daerah maupun bagi masyarakat," kata Wakil Ketua Komisi X DPR Fikri Faqih di Kompleks Parlemen, Kamis (8/12/2016).
Keputusan penolakan itu diambil pada sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Rabu (7/12/2016) pagi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, usulan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, ujian nasional dianggap sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas serta pemerataan pendidikan.
Adapun mekanisme yang ditempuh pemerintah dengan melempar wacana ke publik terkait moratorium ujian nasional, dinilai Fikri kurang etis.
Terlebih, wacana itu dilempar lebih dulu sebelum dibahas di internal kabinet. Pemerintah pun dianggap tidak konsisten dengan sejumlah alasan yang dirumuskan sendiri.
"Ini tidak baik, karena Kemendikbud yang melempar wacana ke publik kemudian mendapat beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Namun ternyata kemudian Wapres menyatakan menolak proposal Mendikbud itu," ujarnya.
(Baca: Usulan Moratorium Ujian Nasional Ditolak)
Ketika usulan moratorium itu mencuat, ia mengatakan, Komisi X telah mengundang Mendikbud untuk berdialog pada awal Desember lalu.
Saat itu, Muhadjir menyampaikan delapan alasan yang mendasari pelaksanaan ujian nasional perlu dimoratorium.
(Baca: Pemerintah Rencanakan Moratorium Ujian Nasional)
Pertama, menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2008.
Dengan keluarnya putusan tersebut, maka UN dinilai perlu dimoratorium hingga sarana prasarana sekolah merata di seluruh Indonesia.
Kedua, sesuai dengan nawacita untuk melakukan evaluasi terhadap model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional.