Menurut Engkus, pengosongan atau tanda strip pada kolom agama di KTP atau KK menimbulkan penafsiran bermacam-macam. Bahkan tak jarang, disamakan dengan tidak beragama.
Dari situlah kemudian penganut kepercayaan menjadi sulit mengakses dan mendapatkan hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial, serta pelayanan publik.
Maka dari itu, pihaknya mengajukan diri menjadi pihak terkait karena uji materi ini juga akan berdampak pada dirinya dan semua penganut kepercayaan yang ada di Indonesia.
Menurut dia, kata "kepercayaan" tetap dicantumkan dalam kolom agama pada KK dan KTP. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa keberadaan penganut kepercayaan diakui oleh negara.
"Lebih baik zaman Orba (Orde Baru), kolom agama/kepercayaan, dan itu tidak mengundang diskriminasi seperti sekarang ini," kata Engkus seusai persidangan.
Permohonan uji materi
Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan yang juga merupakan penganut kepercayaan mengajukan uji materi terhadap Pasal 61 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 64 ayat 1 dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan).
Adapun Pasal 61 ayat 1 berbunyi, "KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua."
Sedangkan Pasal 61 ayat 2 berbunyi, "Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan."
(Baca juga: Ini Komentar Menteri Agama soal Rencana Pengosongan Kolom Agama bagi Penganut Kepercayaan)