Dalam kesempatan yang sama, Tito juga menyampaikan bahwa pihak penyelenggara aksi, yaitu Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) sangat kooperatif.
Salah satunya terkait dengan waktu penyelenggaraan aksi. Kepolisian, kata Tito, sebetulnya menyiapkan kesempatan bagi para peserta aksi hingga pukul 16.00 WIB.
Namun, saat itu pihak GNPF MUI justru menolak dan massa akhirnya bubar sekitar pukul 13.00 WIB. Mereka, menurut Tito, mengaku trauma dengan peristiwa 4 November 2016 lalu, saat sempat terjadi kerusuhan usai aksi.
Mereka menegaskan, bahwa kegiatan mereka murni penyampaian aspirasi terkait kasus hukum terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Mereka tidak ingin seperti peristiwa kemarin. 'Itu akan menodai agama Islam. Kami betul ingin sampaikan aspirasi. Kalau susah pada negara, aspirasi kami sampaikan pada Tuhan'," kata Tito menirukan ucapan perwakilan aksi.
(Baca juga: Kapolri Apresiasi Doa Bersama yang Berlangsung Damai dan Lancar)
Padahal, lanjut Tito, jika melihat psikologi massa, dengan jumlah yang sebanyak itu tingkat kerawanan sangat luar biasa tinggi.
Sebab, jika ada satu orang saja yang memicu kerusuhan, massa akan sangat sulit dikendalikan. Oleh sebab itu, pengamanan ekstra diberlakukan Polri. Ini termasuk menyediakan pengeras suara agar mereka tak melakukan orasi menggunakan mobil-mobil komando.
Dengan menyiapkan pengeras suara, maka sumber suara hanya satu dan panggung menjadi magnet pusat komando.
"Jadi kami hadir di sana bukan untuk populer tapi mengendalikan mereka yang sudah berkomitmen dengan kami, yang berdialog dengan mereka. Sehingga semuanya betul-betul berjalan sesuai rencana," ujar Tito.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.