JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, perubahan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ditujukan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Beberapa pasal yang dinilai berpotensi menimbulkan kriminalisasi oleh kalangan masyarakat sipil pun diubah.
"Revisi ini artinya hanya beberapa perbaikan. Subtansi mayoritasnya masih sama dengan UU ITE 2008," kata Rudiantara saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (30/11/2016).
"Beberapa revisinya justru memberikan perbaikan asas-asas keadilan yang lebih baik bagi masyarakat," ujar dia.
Rudiantara menuturkan, dalam UU ITE pasca-revisi, ancaman hukuman pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik sudah dikurangi.
Dengan demikian, seseorang yang diduga melakukan pencemaran nama baik tidak perlu ditahan selama proses pemeriksaan dan penyelidikan.
"Tata caranya diperbaiki. Tuntutan hukum pasal pencemaran nama baik dikurangi yang tadinya 6 tahun menjadi 4 tahun," ucap Rudiantara.
"Seseorang tidak perlu ditahan dulu selama diperiksa. Apakah ditahan atau tidak nanti di proses hukum selanjutnya," kata dia.
(Baca: Revisi UU ITE Berlaku, Pelaku yang Ditangkap Tak Langsung Ditahan)
Selain itu, UU ITE juga mengatur tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan.
UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.
Hal tersebut, kata Rudiantara, sejalan dengan ketentuan penyadapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Menyesuaikan KUHP karena satu sama lain UU itu berkaitan. Produk hukum itu harus sejalan," ucapnya.
(Baca: Polri: Revisi UU ITE Dorong Masyarakat Lebih Beradab di Media Sosial)