JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menilai permohonan uji materi terkait perpanjangan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi tidak relevan.
Pernyataan ini menanggapi uji materi yang diajukan oleh Hakim Binsar Gultom dan Lilik Mulyadi dengan nomor perkara 53/PUU-XIV/2016 dan uji materi nomor perkara 73/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Centre of Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI).
Dalam permohonannya, Binsar dan Lilik meminta agar masa jabatan hakim MK disamakan dengan hakim MA, yakni hingga berusia 70 tahun.
Sedangkan CSS UI, meminta jabatan hakim MK tidak dibatasi dengan periodisasi, yang kemudian dapat ditafsirkan bahwa jabatan hakim MK adalah seumur hidup.
Menurut Fadli, perpanjangan masa jabatan hakim MK seperti yang diminta pemohon akan memunculkan banyak konsekuensi.
Misalnya, konflik kepentingan bagi hakim-hakim itu sendiri yang justru dapat menggangu independensinya sebagai penegak hukum.
Maka dari itu, Menurut Fadli, pembatasan masa jabatan bagi hakim MK justru perlu dilakukan guna mencegah munculnya kekacauan sistem.
"Masa jabatan itu kan sebetulnya memang untuk memberikan keteraturan pada masa jabatan pejabat tinggi negara," ujar Fadli di gedung MK, Jakarta, Senin (28/11/2016).
"Makanya kemudian, hal umum yang berlaku itu tidak ada jabatan tanpa pembatasan. Tanpa pembatasan akan menimbulkan kecenderungan korup di kemudian," kata dia.
Menurut Fadli, permohonan itu menimbulkan keresahan di internal hakim MK itu sendiri, karena ada asas umum di dunia hukum yang menyebutkan bahwa seorang hakim tidak boleh mengadili persoalan atas dirinya sendiri.
Dalam bahasa latin disebut "nemo judex in causa sua".
"Kondisi sekarang itu kan terjadi di mana MK memutus perkara dengan kepentingan, bahkan bukan kepentingan institusi, tapi kepentingan personal hakim yang sedang menjabat," kata dia.
(Baca juga: Usulan Masa Jabatan Seumur Hidup Hakim MK Dinilai Berbahaya)
Fadli menambahkan, oleh karena alasan keberatan inilah dirinya bersama Veri Junaidi menjadi kuasa hukum dari Nursjahbani Katjasungkana, dan Dadang Trisasongko untuk menjadi pihak terkait dalam uji materi ini.
Nursjahbani dan Dadang merupakan Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang merasa dirugikan jika majelis hakim MK menerima permohonan para pemohon.
Adapun alasan kedudukan hukum mereka mengajukan diri menjadi pihak terkait dalam uji materi ini lantaran keduanya banyak bekerja dalam bidang pembaruan hukum, perlindungan hak asasi manusia.
Selain itu, Nursjahbani dan Dadang dikenal melakukan berbagai upaya mendorong membangun peradilan yang bersih, mandiri dan akuntabel.
"Jika permohonan ini potensial diputus, maka akan membuat perjuangan mereka selama ini sia-sia,” kata Fadli.