"Di atas kertas, sinergi dalam bentuk pertukaran informasi dan patroli bersama serta penegakan hukum yang kuat di masing-masing negara adalah solusi masuk akal. Namun, tanpa dibarengi upaya serius menghilangkan praktik buruk, hal itu menjadi sekadar bentuk tindakan reaktif belaka yang tidak berkelanjutan dan pada akhirnya tidak efektif," ujar Fahmi.
Negara-negara itu, lanjut Fahmi, tampaknya tidak sepenuhnya sadar bahwa mengatasi gangguan keamanan laut tidak cukup hanya dengan melakukan tindakan reaktif atau sosialisasi jalur-jalur rawan.
Tanpa pembenahan internal yang komprehensif, mereka diyakini tidak akan menemukan solusi.
"Hilangkan ego menghadapi musuh bersama. Kedaulatan dan kewibawaan diuji. Bukan hanya Indonesia, melainkan juga Malaysia dan Filipina karena faktanya penculikan sering terjadi di perairan tetangga," ujar Fahmi.
Catatan Kompas.com, hingga pertengahan November 2016 ini, masih ada 7 ABK WNI yang disandera.
Lima ABK telah dipastikan disandera kelompok Abu Sayyaf. Sementara itu, dua ABK lainnya belum diketahui siapa penculiknya.
Meski demikian, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah mengetahui lokasi 2 ABK WNI itu. Mereka terpantau berada di Kepulauan Sulu, Filipina Selatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.