Hal senada juga dilontarkan oleh Ketua Lembaga Penelitan dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) PBNU, Rumadi Ahmad.
"Penodaan agama itu selalu pasal karet, definisinya tidak jelas. Seharusnya pasal penistaan agama itu diperketat," ucap Rumadi.
Rumadi menilai setiap proses hukum dalam kasus penodaan agama sangat bersifat subyektif.
"Selain itu kecenderungannya, aparat hukum mengikuti selera massa, seperti di kasus Lia Eden, Gafatar, dan kasus HB Jassin," ujar Rumadi.
"Perasaan selalu dipakai dalam kasus penistaan agama. Ukuran obyektifnya tidak ada, hanya mengandalkan perasaan," lanjutnya.
(Baca juga: Pasca-reformasi, Kasus Penistaan Agama Meningkat karena Politisasi)
Di sisi lain, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, istilah penodaan agama dan penistaan agama sebenarnya tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM.
Menurut Ismail, kasus penistaan agama tidak bisa diproses melalui jalur hukum karena agama sendiri bersifat abstrak dan sulit untuk mengukur sejauh apa seseorang dikatakan menista agama.
"Penodaan agama dan penistaan agama tidak dikenal dalam konsep hukum dan HAM. Kasus penodaan agama tidak bisa diselesaikan melalui produk hukum karena sifatnya abstrak. Jika dipaksakan maka jadi banyak kontroversi," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.