Abdul menambahkan, baik secara formal maupun informal, pihaknya telah mengingatkan Nasir bahwa aturan tersebut berpotensi dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Sehingga sebaiknya pemilihan rektor dikembalikan saja kepada masing-masing kampus. Kalaupun pemerintah ingin masuk, maka persentasenya diharapkan tak mencapai 35 persen, yang membuat pihak eksternal kampus menjadi dominan.
"Sejak awal sudah diingatkan. Tapi karena belum ada kejadian, Beliau kan selalu mengatakan tak ada permainan, tidak ada campur tangan menteri, praktik-praktik makelar hanya mengatasnamakan saja," tuturnya.
Ia pun meminta agar Nasir mengevaluasi kembali regulasi tentang 35 persen hak suara menteri tersebut serta mendengarkan aspirasi dari bawah agar pemilihan rektor lebih transparan.
Sebab, dari beberapa laporan yang masuk ke Komisi X, sebagian masyarakat mengeluhkan proses pemilihan rektor yang kerap kurang transparan.
Penerapan regulasi seperti saat ini juga berpotensi menimbulkan suasana tak kondusif di internal kampus.
Pasalnya, jumlah calon rektor yang mendapat suara terbesar dari hasil seleksi internal pada akhirnya belum tentu akan mendapat kursi rektor.
"Dengan menjaga transparansi saya kira sudah selesai. Asal transparansi dijaga, mereka akan kondusif," kata Abdul.
Wakil Ketua Komisi X lainnya, Ferdiansyah juga berpendapat serupa. Menteri, menurut dia, boleh memiliki kepentingan, asalkan untuk kebaikan bangsa dan negara.
Aturan mengenai 35 persen hak suara menteri bisa digunakan jika memang diperlukan. Namun, jika tak dibutuhkan, pemilihan rektor idealnya dikembalikan pada kampus.
"Menristek Dikti tidak perlu campur tangan kalau rektor-rektor calon terpilih benar-benar aspirasi masyarakat kampus," ujar Ferdiansyah.
Kampus beraset besar
Ketua KPK Agus Rahardjo masih enggan mengungkapkan jumlah perguruan tinggi yang tengah dimonitor Menurut dia, KPK masih dalam tahap mendalami.
Ia pun berharap mereka yang dimonitor berubah, sehingga tak berakhir sebagai tangkapan KPK.
Agus juga menyebutkan bahwa jumlah penyidik KPK yang minim, yaitu 92 orang, dinilai sebagai salah satu alasan mengapa kasus ini tak termonitor dengan baik.