JAKARTA, KOMPAS.com — Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, I Gede Pantja Astawa, menilai sah saja jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan perintah terhadap kadernya melalui mekanisme informal.
Hal itu diungkapkan Astawa saat memberikan keterangan dalam persidangan gugatan perdata yang diajukan Fahri Hamzah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (24/10/2016).
Fahri sebelumnya mempersoalkan pemanggilan dirinya yang tidak menggunakan surat.
Menurut Fahri, pemanggilan tersebut informal.
Menurut Astawa, penggunaan cara informal dalam pemberian perintah partai bisa saja dilakukan sepanjang substansi pesan yang diberikan memang penting.
"Bagi saya bukan terletak pada cara-cara konvensional atau lewat teknologi, yang penting isinya. Itu bisa dicari keabsahan dan validitasnya. Jangan terpaku dengan cara," ujar Astawa, yang dihadirkan sebagai ahli.
Astawa mengatakan, penggunaan cara tersebut diperbolehkan selama telah memenuhi dua syarat.
"Dua syaratnya, dilakukan berulang-ulang dan diterima dengan baik sebagai kebiasaan organisasi," kata dia.
Menurut Astawa, perbandingan dapat dilakukan untuk membuktikan apakah mekanisme informal di PKS telah memenuhi dua syarat tersebut.
Perbandingan dapat dilakukan dengan melihat apakah cara tersebut pernah dilakukan terhadap kader lain di PKS.
"Compare saja. Pernah enggak dilakukan kepada kader lain dan ada tidak ada yang mempersoalkan?" ujar Astawa.
DPP PKS memecat Fahri Hamzah lantaran dianggap telah melanggar ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai.
Sebagai gantinya, DPP PKS menunjuk Ledia Hanifah sebagai Wakil Ketua DPR.
Atas pemecatan itu, Fahri telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ada tiga pihak yang digugat Fahri, yakni Presiden PKS Sohibul Iman, Majelis Tahkim PKS, dan Badan Penegak Disiplin Organisasi PKS.
Fahri juga melaporkan tiga anggota DPR dari Fraksi PKS ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR pada akhir April lalu.
Dalam laporannya, Fahri menganggap ketiganya telah melakukan dua tindakan utama yang tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga terindikasi pidana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.