JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengatakan, ia pernah meminta pengawasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Permintaannya itu disampaikan saat proses penentuan anggaran proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik.
"Saya meminta, kalau bisa jangan Kemendagri saja yang mengerjakan ini. Saya kan orang daerah, tidak tahu seluk beluk Jakarta seperti itu," ujar Gamawan, di Gedung KPK Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Menurut Gamawan, rapat terkait anggaran pengadaan KTP elektronik pertama dibahas di tempat Wakil Presiden bersama Menteri Keuangan, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta menteri-menteri terkait.
Setelah rencana anggaran biaya disusun, Gamawan meminta agar rencana anggaran tersebut diaudit oleh BPKP.
(Baca: Gamawan Sebut Anggaran KTP Elektronik Dibahas bersama Wapres dan Sri Mulyani)
"Selesai diaudit BPKP, itu saya bawa ke KPK, saya presentasikan di KPK lagi. Saran KPK saat itu, coba didampingi oleh LKPP," kata Gamawan.
Gamawan mengatakan, setelah rencana anggaran diawasi oleh auditor, proses tender baru bisa dilakukan.
Proses tersebut didampingi oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), BPKP, dan sejumlah kementerian.
Selanjutnya, sebelum kontrak ditandatangani, Gamawan mengaku mengirimkan lagi berkas anggaran KTP elektronik ke KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.
Menurut Gamawan, sampai sekarang berkas-berkas tersebut belum pernah diberikan kesimpulan oleh KPK.
Selain itu, BPKP juga melakukan audit dengan tujuan tertentu, namun tidak pernah ada temuan sampai sekarang.
"Tiba-tiba, saya dapat kabar ada kerugian Rp 1,1 triliun. Saya tidak tahu, karena yang saya pegang kan hasil audit, hasil pemeriksaan, bagaimana saya tahu kalau ada masalah," kata Gamawan.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.
Dua tersangka tersebut diduga melakukan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, yakni dengan menggelembungkan anggaran (mark up) proyek pengadaan KTP elektronik pada tahun 2012.
Menurut KPK, proyek pengadaan KTP elektronik tersebut senilai Rp 6 triliun. Sementara, kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 2 triliun.