JAKARTA, KOMPAS.com - Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengaku tak masalah jika TNI tidak dilibatkan dalam undang-undang mengenai pemberantasan terorisme.
Pernyataan tersebut menanggapi banyaknya penolakan atas keterlibatan TNI dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Tidak usah libatkan TNI juga tidak ada masalah. Karena panglima tertinggi TNI adalah undang-undang," ujar Gatot usai upacara peringatan HUT TNI ke-71 di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
Kendati demikian, Gatot tetap meminta definisi tindak pidana terorisme diubah. Menurut Gatot, definisi kejahatan terorisme sebagai tindak pidana menjadikan Indonesia sebagai lokasi teraman bagi operasi teroris.
Ini disebabkan ancaman terorisme di Indonesia tidak dapat diatasi secara cepat. Akibatnya, kejahatan terorisme hanya bisa diatasi setelah peristiwa teror terjadi.
"Kalau definisi terorisme adalah kejahatan pidana, maka tidak ada perkembangan. Negara ini menjadi tempat yang paling aman bagi teroris. Karena mereka melakukan dulu baru bisa ditindak," ujar Gatot.
Gatot mengatakan, kejahatan terorisme seharusnya didefinisikan sebagai kejahatan terhadap negara.
Indonesia, lanjut Gatot, perlu mempelajari definisi tersebut dari peristiwa di Irak, Suriah, maupun Libya yang rusak karena kejahatan terorisme.
"Seharusnya definisi teroris itu belajar dari Irak, Suriah, dan Libya yang bisa merusak keutuhan negara. Maka definisi teroris adalah kejahatan terhadap negara," ujar Gatot.
Pemerintah dan DPR saat ini bersepakat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Salah satu tujuannya untuk memudahkan aparat penegak hukum melakukan upaya preventif pencegahan terorisme.
Hanya saja, pembahasan RUU tersebut menimbulkan kontroversi karena klausul yang melibatkan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
Klausul tersebut ada pada Pasal 43B ayat (1) draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyatakan.
Pasal itu menyatakan, kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
Sementara itu, ayat (2) menyatakan peran TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Polri.