Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Batalnya Indonesia Meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau Jelang Pemilu 2004

Kompas.com - 02/10/2016, 08:30 WIB
Alsadad Rudi

Penulis

BOGOR, KOMPAS.com - Indonesia disebut pernah hampir menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi pengendalian masalah tembakau.

Namun, rencana itu dibatalkan menjelang pemilu 2004.

Informasi itu disampaikan Anhari Achadi, akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia yang juga mantan staf ahli Menteri Kesehatan era Presiden Megawati Soekarnoputri, Achmad Sujudi.

Menurut Anhari, pada 2004, Sujudi sebenarnya sudah sempat mendapat kuasa penuh dari Megawati untuk menandatangani FCTC. Sujudi bahkan sudah sempat bertolak ke markas PBB di New York.

Namun, jelang keikutsertaannya dalam deklarasi FCTC, Anhari menyebut Sujudi mendapat telepon dari seseorang yang memintanya tidak ikut menandatangani FCTC.

"Tiba-tiba dapat telepon tidak jadi. Waktu itu mau Pemilu," kata Anhari dalam seminar pengendalian tembakau dengan tema "Membongkar Hambatan Aksesi FCTC dan Mitos Rokok di Indonesia" di Bogor, Sabtu (1/10/2016).

Anhari mengaku tidak tahu menahu siapa yang menelpon Sujudi itu. Sebab, ia menyebut dirinya tidak pernah diberi tahu Sujudi sampai dengan saat ini.

"Cuma Pak Sujudi yang tahu. Dia tidak mau ini jadi gaduh," ujar Anhari.

Menurut Anhari, setelah kejadian itu, Sujudi sempat memaparkan mengenai perlunya Indonesia meratifikasi FCTC dalam rapat terbatas di Istana Negara.

Rapat dihadiri Presiden Megawati, Wakil Presiden Hamzah Haz serta sejumlah menteri Kabinet Gotong Royong.

Anhari menuturkan bahwa dalam rapat itu, Sujudi menyatakan bahwa terganggunya industri rokok karena ratifikasi FCTC tidak akan muncul seketika, melainkan butuh proses yang sangat panjang.

Selama masa yang panjang itulah Indonesia dianggap bisa berbenah. Namun, kata Anhari, usulan dari Sujudi itu ditolak oleh sebagian peserta rapat.

Satu-satunya menteri yang disebutnya menerima usulan itu hanyalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat saat itu, Jusuf Kalla.

Sementara itu, Anhari menyebut Megawati saat itu menyatakan belum bisa mengambil keputusan. Sedangkan Hamzah sama sekali tidak memberikan pendapatnya.

"Bu Mega bilang, 'Oke hari ini kita belum bisa mengambil keputusan, akan kita adakan pertemuan lagi'. Tapi setelah itu tidak pernah ada pertemuan lagi," tutur Anhari.

Anhari mengaku heran kenapa para menteri menolak usulan agar Indonesia menandatangani FCTC. Ia menduga penolakan disebabkan karena para menteri tidak mendapat informasi yang benar sebelumnya.

"Informasi yang didapat tidak akurat," ucap Anhari.

Indonesia diketahui menjadi satu dari tujuh negara di dunia yang tidak menandatangani FCTC. Enam negara lainnya adalah Somalia, Malawi, Eritrea, Andorra, Liechtenstein, dan Monako.

Ada 180 negara di dunia yang diketahui sudah menandatangani FCTC. Mereka di antaranya adalah negara-negara produsen tembakau terbesar, seperti Tiongkok, India, Brasil, dan Amerika Serikat.

Kompas TV Komisi XI: Jangan Matikan Industri dengan Regulasi â?? Satu Meja
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com