Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Herawati Diah: Perempuan Pejuang, Perempuan Wartawan sampai Akhir Hayat

Kompas.com - 30/09/2016, 17:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

"Kembara tiada berakhir sepertinya takdir saya. Saya bersyukur kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan saya kesehatan yang baik, keluarga yang saling mencintai, sahabat dan teman yang istimewa, dan kegiatan yang masih saya tekuni.”

Herawati Diah, pelopor perempuan wartawan, pejuang kemerdekaan, seperti tertulis dalam Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut (Saparinah Sadli, Penerbit Buku Kompas, 2014).

Saya masih ingat, pada suatu siang di awal tahun 2012, saya mendatangi almarhumah Ibu Herawati Diah di apartemennya yang resik dan cantik bernuansa kayu jati di bilangan Kebayoran Baru.

Keperluan saya berwawancara untuk sebuah memoar yang sedang dipersiapkan, yang kemudian terbit dengan judul: Saya, Soeriadi dan Tanah Air. Catatan Kehidupan Istri Bapak AURI Soeriadi Suryadarma (Yayasan Bung Karno, 2012).

Ibu Hera, demikian ia biasa dipanggil, saat wawancara itu saya lakukan telah berusia 95 tahun. Namun jangan ditanya semangatnya, apalagi menyangkut bidang jurnalistik dan kepenulisan yang sangat dicintainya.

Ia segera menjelma kembali menjadi wartawan kritis, pelaku, yang mampu menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Bahkan meskipun kejadian itu telah berlalu puluhan tahun yang lalu.

Ibu Hera saksi dan pelaku banyak peristiwa sejarah di masa awal Indonesia merdeka. Sebagai wartawati, ia adalah satu dari empat perempuan pejuang yang menjadi saksi hidup sebuah peristiwa dikirimnya delegasi perempuan Indonesia mengikuti kongres perempuan di Madras, India tahun 1947.

Dengan mata berbinar ia terus menyemangati penulisan kisah-kisah perempuan dalam sejarah nasional Indonesia. Bahkan beberapa foto peristiwa itu, ia ambil langsung dari koleksi pribadi yang juga telah diterbitkan dalam otobiografinya: Kembara Tiada Berakhir: Herawati Diah Berkisah (Penerbit Yayasan Keluarga, 1993).

Empat Perempuan Pejuang dan Mahatma Gandhi

Terjadilah siang itu, perempuan wartawan tiga zaman ini menceritakan kisah kenangannya bersama Utami Suryadarma, Ny. Sunaryo Mangunpuspito dan Ny. dr. Sulianti Saroso.

Bu Hera mengenang Utami sebagai orang gigih mengupayakan berangkatnya duta-duta perempuan Indonesia ke Madras, India, menghadiri All Indians Women Congress.

Menurut Hera, pada tahun 1947 itu, Utami, Ketua Bidang Penerangan Luar Negeri Kongres Wanita Indonesia (Kowani), sedangkan ia bertugas meliput sebagai wartawan mewakili Harian Merdeka dan The Indonesian Observer, tetapi juga peserta kongres.

Mereka berempat menumpang pesawat palang merah milik Bidu Patnaik, industrialis India.  Pesawat itu akan kembali ke negerinya setelah mengirim obat-obatan ke Yogyakarta. Siasat yang dilakukan dengan hati-hati, karena Indonesia masih musuh besar Belanda.

Lalu, sesampainya di India, keempat perempuan ini sempat bertemu dan berbincang langsung dengan Bapak Kemerdekaan India, Mahatma Gandhi. Utami melontarkan pertanyaan, “Apakah perjuangan Indonesia akan berhasil?”

Lalu, dijawab oleh Gandhi, “Apabila Anda percaya bahwa itu akan berhasil, maka akan berhasil.” (Kembara Tiada Berakhir, 1993). Pengalaman keempat perempuan hebat Indonesia di Madras India ini juga dituturkan oleh Utami Suryadarma dalam memoarnya.

***

Siti Latifah Herawati Diah, lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 3 April 1917 adalah perempuan wartawan pertama yang terdidik dengan pendidikan formal di Amerika Serikat sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

“Saat itu sangat jarang atau boleh dibilang tidak ada orang Indonesia bersekolah ke Amerika Serikat. Hampir semua kelompok terdidik yang bersekolah ke luar negeri, memilih Belanda sebagai negerinya menuntut ilmu. Orang tua saya sangat mendukung cita-cita saya,” kata putri dokter Latip ini dalam otobiografinya.

Kalau saat ini kita memiliki banyak perempuan berkarier di dunia jurnalistik, maka mereka semua rasanya patut berterima kasih pada Ibu Hera.

koleksi pribadi Delegasi kami berfoto di Madras bersama seorang perempuan anggota parlemen India. Ibu Herawati Diah tampak berdiri paling kiri mengenakan kebaya
Ketika ia menerjuni profesi ini, pers Indonesia yang masih identik dengan pers perjuangan cuma membuka sedikit ruangnya bagi jurnalis perempuan.

Bu Hera lulusan Barnard College, The Columbia University, New York tahun 1942, juga boleh disebut sebagai wartawan pertama Indonesia yang terdidik secara formal.

Bersama suaminya, wartawan pelopor Burhanuddin Mohammad Diah atau BM Diah, ia berjuang dengan pena lewat surat kabar perjuangan: Merdeka dan The Indonesian Observer.

Tak ada satu insan pers pun atau mereka yang sedang mempelajari sejarah pers Indonesia, tidak mengenal pasangan wartawan Herawati Diah dan B.M. Diah.

Dua insan yang menyuarakan semangat kemerdekaan lewat dua bahasa dalam dua surat kabar yang mereka dirikan dan besarkan bersama ini. Paling tidak sampai paruh 1990-an kedua surat kabar ini masih hidup dan menjalankan roda mesin penerbitannya dengan lancar.

Bersyukur

Dalam kesempatan wawancara yang lain untuk buku Mereka dan Saparinah Sadli: Kumpulan Tulisan Media Massa dan Kesan Para Sahabat (Imelda Bachtiar, Panitia Anugerah Saparinah Sadli, Juli 2010), saya juga beruntung mendengar dan menuliskan pendapat Ibu Hera tentang usia panjang dan keprihatinannya atas kondisi negeri ini.

Negeri yang setiap jejaknya, detak nafasnya, mulai kelahirannya hingga sekarang, selalu diawasi dan disaksikannya.

Seperti seorang Ibu yang melahirkan, menyusui, mengasuh dan membesarkan buah hatinya. Saya mengutip pendapatnya yang saya tulis dalam buku itu dengan ujaran langsung.

“Bersyukur", itu perasaan yang tak henti diungkapkan oleh pendiri The Indonesian Observer dan generasi Angkatan 1945. Siti Latifah Herawati Diah, ketika enam tahun lalu ditanyakan perasaannya.

Istimewa, karena capaian usia, kesehatan yang optimal, memungkinkannya menjadi saksi bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

“Persoalan bangsa kita nomor satu ialah korupsi. Bagaimana mudah sekali kita menemukan seorang tukang parkir, polisi, anggota dewan, sampai menteri, melakukannya seperti itu hal yang biasa. Solusinya adalah pendidikan dan keluarga. Keduanya. Kalau berpendidikan tinggi saja, belum tentu dia mau mengambil hak orang lain, Bila tidak dididik seperti itu dalam keluarga,” begitu Ibu Hera.

Itu jawabannya ketika ditanya apa persoalan bangsa yang menjadi kegundahannya kini.

Wartawan senior yang sampai kini pun tak berhenti menjadi juru warta ini, menulis sendiri catatan perjalanan hidupnya: Kembara Tiada Berakhir (1993) dan edisi berbahasa Inggris yang sudah diperbaharui The Endless Journey (2005).

Banyak orang muda menilai kedua buku ini telah menginspirasi kehidupan mereka. Saya salah satunya yang sangat menyukai gayanya menulis memoar dengan penuh data dan fakta.

Di era reformasi, aktivitas Bu Hera di ranah publik pun tak usah diragukan lagi. Ia sangat dekat dengan upaya pemberdayaan perempuan.

Setelah bergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan pada Mei 1998, ia menjadi salah seorang komisioner pertama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Bersama Debra Yatim, menjelang Pemilu 1999, ia mendirikan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu (GPSP) yang kini berubah nama menjadi Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan. Belum lagi keterlibatannya dalam Lingkar Mitra Budaya.

***

Pengajian Rabbani

Tidak pernah disangka, dua tahun lalu, atas ajakan Ibu Saparinah Sadli, saya bergabung dalam sebuah kelompok kecil kajian kitab suci Al-Quran yang kami beri nama Rabbani. Bu Hera salah satu anggota paling senior.

Anggota kelompok pengajian ini hampir semua berusia di atas 70 tahun, hanya 3 orang termasuk saya yang berusia 40-an.

Kami berkumpul dua kali satu bulan, dan berdiskusi membahas satu topik populer yang dikaitkan dengan ayat-ayat dalam Al-Quran. Dalam setiap pertemuan, Bu Hera, tanpa mengenakan kaca mata, masih dapat membaca dengan lantang terjemahan ayat yang sedang dibahas kali itu.

Bermain bridge serta menonton film baru dan pagelaran seni, juga seringkali dilakukan Bu Hera bersama teman-teman sebaya. Supaya tidak pikun, katanya suatu ketika.

Sampai Allah Sang Maha Pencipta memanggil Ibu Hera subuh hari ini, rasanya tak ada berubah dari kegiatan keseharian beliau.

Hanya tiga minggu terakhir, hari-harinya memang banyak dihabiskan dengan beristirahat di kamar rawat RS Medistra, Jakarta. Herawati Diah berpulang dengan tenang, menyusul sang suami tercinta dalam usia 99 tahun.

Sekali lagi, bersyukur dan selalu melihat sisi baik kehidupan, adalah energi untuk menjalani hidup dengan optimal. Tampaknya, inilah yang perlu diteladani generasi muda dari almarhumah Herawati Diah.

Bangsa ini menundukkan kepala dan mengucapkan terima kasih yang dalam atas semua perjuangan dan karya penanya. Selamat jalan Ibu Hera, pelopor perempuan wartawan dan perempuan pejuang!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com