JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan pemerintah yang menaikkan cukai rokok dinilai akan merampas pekerjaan buruh tembakau.
Anggota Komisi XI DPR Mukhammad Misbakhun memprediksi akan semakin banyak pabrik yang tutup dan akhirnya meningkatkan angka pengangguran.
"Dampaknya PHK massal terjadi di pusat-pusat industri hasil tembakau," kata Misbakhun, di Jakarta, Selasa (27/9/2016).
Misbakhun meminta pemerintah berempati terhadap industri hasil tembakau yang tengah menghadapi situasi pasar yang pelik setelah dijerat kenaikan cukai tahun lalu sebesar 12-16 persen.
Menurut dia, kenaikan cukai rokok tahun lalu membuat berkurangnya pangsa pasar.
Yang lebih memberatkan, kata Misbakhun, industri terbebani harus membayar cukai di muka pada tahun 2015 lalu.
"Dengan target kenaikan cukai rokok tahun 2017 sebesar Rp149,8 triliun sebagaimana pada RAPBN 2017, kondisi ini berat bagi industri," ujar politisi Golkar ini.
Misbakhun mengatakan, dalam persentase nilai tambah ekonomi, sektor IHT hanya mendapatkan porsi 13 persen dalam struktur keseluruhan volume, dan itu terus ditekan oleh pemerintah.
Sementara, pemerintah mendapatkan porsi 56 persen, dan petani 11 persen. Sisanya, didapat pedagang perantara tembakau dan jalur distribusi hasil industri.
Dengan dalih meningkatkan penerimaan negara dari sektor cukai, pemerintah ingin menambah porsi perolehannya terus dengan menaikan cukai rokok tiap tahun.
“Sungguh ironis, posisi industri hasil tembakau yang ditekan terus Pemerintah, tanpa pernah melakukan pembinaan apapun selain hanya sebagai pemungut cukai semata,” kata dia.
Kenaikan cukai, lanjut Misbakhun, juga makin meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Menurut catatan, akibat rokok ilegal, kerugian negara ditaksir hingga Rp 9 triliun.
Sementara, menurut data pemerintah, peredaran rokok ilegal masih sangat marak.
Sepanjang 2016 ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat telah menindak sebanyak 1.300 kasus peredaran rokok ilegal.